CERPEN DELVI ADRI

Radikal

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2015 - 00:47 WIB

"Jika kau memiliki prinsip, lalu kau terlanjur masuk ke dunia hitam, jauh dari prinsip yang kau miliki dan lalu kau sadar tentang kebenaran sesungguhnya, penyesalan akan terus menghantuimu."

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Aku paham, negeri ini betul-betul tidak memberikan dia kesempatan. Ideologi yang dia miliki benar-benar bertentangan dengan kenyataan yang dia hadapi. Membenahi sistim yang rusak bukanlah perkara mudah.

Sebelum bergumul di dunia jurnalistik, dia memang aktif menulis. Lantas, tulisan-tulisan itu dia kirimkan ke media massa. Hampir setiap bulan, kritikan keras untuk pemerintah menghiasi halaman media cetak. Menurutnya, itu satu-satunya cara agar sistim yang terlanjut rusak segera dibenahi, agar kekacauan yang terlanjur melebar segera dihentikan.

"Menulis jauh lebih baik dibanding turun ke jalan dan berdemo."

"Bukankah itu sama saja. Kita sama-sama mewakili jeritan rakyat."

"Mewakili suara rakyat, atau mewakili suatu kelompok yang punya kepentingan?"

"Tentu saja mewakili rakyat."

"Mungkin itu pikiranmu. Tapi nyatanya, berteriak dengan selembar uang dan nasi hangat penghalau lapar bisa disebut mewakili rakyat? Tidak, itu hanya akan memberi keuntungan suatu kelompok saja. Lalu, apa hasilnya? Tentu saja akan menciptakan generasi-generasi bermental pecundang. Jika kau menulis, setidaknya kau mewakili dirimu sendiri, tanpa ada kepentingan pihak mana pun."

Sebenarnya aku tahu, berdemo bukanlah cara yang baik untuk menyuarakan hati rakyat. Terlebih jika para pendemo menjadi korban bisnis aktor penggerak massa.

***

Rasa kecewa mengantarnya untuk lebih dekat pada sang pencipta. Aku banyak belajar darinya. Dia membuka pikiranku. Pernah suatu malam, saat kumandang adzan saling bersahutan, aku bertandang ke gubuknya. Di sana juga ada lelaki yang selalu mengatarkan keperluannya. Tetapi, saat aku sampai, lelaki itu pamit dan meninggalkan kami berdua. Kami mengobrol hingga malam. Perdebatan dalam obrolan malam itu masih menyoalkan keadilan di negeri ini.

"Apakah masuk akal bagimu, seorang nenek yang tidak mengerti hukum, lantas harus dibui karena kesalahan yang dia tidak tahu. Sementara, para birokrat yang paham hukum, menjarah milyaran uang rakyat. Tapi, bebas melenggang sesuka hati."

"Apa yang abang katakan ada benarnya. Tapi biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Tuhannya."

"Apakah kau akan tinggal diam? Itu sama saja kau membiarkan penindasan terjadi di depan matamu."

"Semua itu pasti bisa diubah, jika saja orang seperti abang menjadi bagian birokrasi."

"Percuma. Di negara demokrasi ini kau tidak akan punya kesempatan. Jika kau menjadi wakil rakyat, kau harus mendapat sokongan suatu kelompok. Lalu kau akan diperbudak, dan menjadi sapi perah. Jika kau mampu mengkhianati penyokongmu, kau akan kembali berhadapan dengan kegilaan teman-teman sejawatmu. Kau yakin imanmu akan kuat?" Aku tertegun, kenyataan memang begitu adanya. Iman memang pondasi segalanya. Tapi iblis lebih hebat dan mampu menembus pertahanan orang kebanyakan.

"Kita hanya perlu menyadarkan mereka, Bang."

"Dengan cara apa? Dengan menyewa penceramah hebat seharga puluhan juta? Kau lihat, televisi kita sekarang tidak kalah hebatnya. Tiap hari, anak-anak kita disuguhi tontonan yang sama sekali tidak mendidik."









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook