"Jika secangkir kopi adalah kehidupan. Maka, hujan adalah tangisan. Di dalam kehidupan, ada pahit juga ada manis. Begitu juga tangisan, ada suka juga ada duka. Dan kita bisa memilih, bangkit atau terpuruk. Meratap atau tertawa. Tapi, di negeri ini, kau akan dipaksa menentukan satu pilihan. LAWAN."
Itu kalimat yang dia ucapkan, saat pertama kali kami bertemu di sebuah gubuk kecil yang cukup terpencil di pinggir kota. Gubuk berukuran 6x4 meter itu sedikit tersembunyi oleh belukar. Jalan setapak ditumbuhi rumput liar, menandakan tempat itu jarang sekali dilalui kendaraan. Di sisi kiri depan gubuk, terdapat sebuah bangku dari kayu dengan sandaran mengarah ke belakang gubuk. Lima meter di depan bangku, terpajang Dart Board. Mungkin itu wahana olahraga ringan baginya. Tidak jauh di belakang gubuk, ada sebuah pondok kecil, mungkin itu gudang. Di sisi kanan ada tempat untuk membuang hajat sekaligus tempat mandi yang ditutupi kain.
Di sebelah dalam, terdapat sekat dari triplek yang membagi ruangan menjadi dua. Bagian belakang terdapat dipan bambu seadanya. Sudah pasti itu kamar tempat dia beristirahat. Di dalamnya terdapat laptop dengan modem yang tertancap. Pada rak buku di pojok kamar itu, bertumpukan buku agama dan beberapa buku taktik perang. Aku tahu dari judul buku-buku itu. Di luar rak, terdapat tumpukan koran. Di sana juga terdapat tiga baterai aki besar. Aku pastikan itu sebagai pengganti listrik, agar laptop bisa menyala. Sementara di bagian depan, hanya ruang kosong yang dihiasi kaligrafi-kaligrafi indah. Di pojok, di dekat pintu antara ruang depan dan belakang ada lampu kecil bertenaga baterai biasa.
Sudah setahun dia menetap di sana saat pertama kami bertemu. Meski hanya berjarak 15 mil dari kota, tak sekali pun dia pergi berjalan-jalan sekedar menikmati suasana kota. Aku tahu karena dia banyak bercerita kepadaku. Baginya, kota yang penuh hiruk-pikuk hanyalah tempat perkumpulan hantu jahat yang bergentayangan. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, ada seseorang yang selalu mengantarkan kebutuhannya sekali dalam seminggu.
Meski aku tidak begitu tahu asal-usulnya, tapi aku tahu dia pernah mengenyam pendidikan tinggi. Bisa ditebak dari cara dia berbicara. Terlebih, pengetahuan yang dia miliki sangat luas. Dia sangat paham tentang permasalahan politik, agama, pemerintahan, bahkan tentang kelakuan para birokrat.
***