SENGGANG MARHALIM ZAINI

Puisi dan Tabu

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 01:35 WIB

TABU itu seperti rambu-rambu. Ia lahir dari sejarah kata, benda, dan tindakan manusia itu sendiri, yang “suka” melanggar aturan atau pantangan. Sebagaimana juga istilah “pantang-larang” dalam dunia Melayu, kata “tabu” mengandung makna tersendiri yang merefleksikan pandangan dan adat-istiadat masyarakat tertentu. Bahkan, dulu, begitu menyebut kata “tabu” yang terbayang kemudian adalah “kutukan.”

Itu dulu. Kini wilayah tabu seperti abu-abu. Yang tabu itu, yang terlarang itu, justru yang dapat “menjual”—dan tak ada sanksi. Wilayah tubuh dan seks misalnya, cenderung bergerak ke arah (meminjam Piliang) ideologi ekonomi libidomics alias libido sebagai komoditas. Semua yang menyerempet tabu itu, selalu membelalakkan mata, membangkitkan hasrat. Maka hari-hari kita, seolah tak pernah lepas dari berita, iklan, tontonan, pun bacaan yang disuguhkan oleh dunia sastra (karya kreatif), yang seolah “melawan” tabu.  


Tapi kita, memang pandai membuat sesuatu yang tabu itu, yang terlarang itu, menjadi abu-abu, sehingga nilai pelanggarannya dapat dianulir. Saya kira, dalam masyarakat pemakai bahasa, itulah fungsinya eufemisme. Kata dan ekspresi tabu, dapat “diperhalus” atau “dilembutkan” sehingga ia terdengar dan telihat lebih pantas. Meskipun, kita tahu, bahwa eufemisme terkadang lebih banyak terkesan sebagai “basa-basi.” Sebab, kata-kata eufemistik itu, kerap tak mampu mengubah persepsi kita; seperti kata “WTS” untuk “pelacur,” atau “penertiban” untuk kata “penggusuran.”

Lalu, masihkah kita percaya pada eufemisme? Entahlah. Sastra, yang biasanya dulu suka sembunyi-sembunyi, ngomong pakai metafor, pakai pantun, pakai syair, pakai gurindam, pakai peribahasa-bidal-pepatah-petitih, pakai circumlocution (ungkapan-ungkapan tidak langsung), kini lebih suka yang verbal. Alasannya, masyarakat (pembaca) kita sibuk, cenderung pragmatis, menyukai yang serba verbal, yang praktis, bahkan yang vulgar. Jadi, seolah hendak mengatakan bahwa yang tabu (taboo, diambil dari bahasa Tongan, rumpun bahasa Polynesia) sudah tidak lagi tabu.

Maka, boleh jadi, jika kini ada puisi yang seperti tak percaya lagi pada kekuatan kata, seperti menjauh dari pergulatan kompleksitas linguistik, tak suka lagi sembunyi dalam metafora dan imaji, ia agaknya sedang tak mau basa-basi. Dan konon, inilah resiko postmodernisme itu, zaman yang serba terbuka, kerap melampaui batas etika, moral, adat, bahkan agama. Yang, tubuh tak perlu lagi pakaian, sebab ia semesta yang bebas, tak boleh terkekang, tak terkendali oleh kekuasaan di luar kebertubuhannya (lihat Foucault, 1978).










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook