ESAI BUDAYA

Mewariskan Tunjuk Ajar Melayu ke Generasi Baru

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 01:00 WIB

Mewariskan Tunjuk Ajar Melayu ke Generasi Baru

Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

Orang Melayu sangat kaya dengan ajaran kebajikan demi ketinggian budi dan kemuliaan kemanusiaan. Ajaran-ajaran yang yang berhubungan dengan pembentukan  karakter atau sikap moral itu diajarkan secara alamiah dan turun temurun. Kearifan orang Melayu dalam menjaga kehalusan budi dan tutur kata disampaikan dengan bahasa kiasaan dan ungkapan-ungkapan penuh lambang.

Baca Juga :Pertunjukan Penutup Rangkaian HUT Kota

Dalam jangka masa yang panjang, ajaran kebajikan melalui kiasan itu terjelma dalam tradisi lisan lintas generasi. Inilah yang dikenal di dalam wujud sastra lisan yang sebagian besar masih terpelihara berupa pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka, dongen, legenda, hikayat atau cerita rakyat.

Di masa lalu, semua tradisi lisan dalam kehidupan orang Melayu semata-mata dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai kesantunan dan kehalusan budi. Gaya orang Melayu dalam memberikan teguran cenderung memilih cara-cara yang moderat (jalan tengah) sehingga cukup ampuh menghindari ketersinggungan sesama.

Semua ajaran kebajikan yang mengatur tatacara pergaulan dan kehidupan orang Melayu itu disebut Tunjuk Ajar, Pantang Larang. Namun, sebutan Tunjuk Ajar saja sudah cukup menggambarkan adanya arahan dan bimbingan budi pekerti yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, para orangtua mewariskan tunjuk ajar itu dengan cara mempraktikkan dalam kehidupan di rumah tangga.

Ajaran tradisi dan budaya Melayu yang disimpai dengan ajaran Islam secara jelas mengutamakan suri tauladan orangtua terhadap anak keturunan (zuriat) atau rumpun keluarga lainnya. Para orangtua selalu mengingat anak-cucu akan arti penting memelihara marwah atau harga diri. Sebab, apabila salah satu dari anggota rumpun keluarga itu membuat aib (hal-hal yang memalukan) niscaya dapat merusak keharuman dan nama baik rumpun keluarga itu.

Orang Melayu di masa lalu mewariskan ajaran tunjuk ajar dan pantang larang itu secara lisan kepada anak keturunan. Ajaran yang terkait hubungan pemimpin dengan rakyat  diwujudkan dalam praktik pemerintahan atau kesultanan. Begitu pula ajaran yang berkaitan dengan adat-istiadat diwariskan dalam kebiasaan sehari-hari. Sistem inilah yang melahirkan tradisi lisan dalam jangka waktu yang panjang.

Tradisi lisan yang berlangsung secara turun-temurun dengan mengandalan hapalan demi hapalan menjadikan ajaran tunjuk ajar suatu saat bisa mengalami distorsi. Sebab kemampuan hapalan seseorang sangat berbeda-beda. Sejalan dengan munculnya tradisi literasi (tulisan) maka upaya menuliskan ajaran tunjuk ajar itu menjadi sebuah keniscayaan agar tetap terjaga dan terpelihara sebagai ajaran leluhur yang bisa diwariskan sampai generasi kapan pun.

Buku Tunjuk Ajar Melayu

Upaya sungguh-sungguh dan ketunakan seorang punggawa Melayu Riau, Dr. (H) Tenas Effendy patut dipuji. Penelitian panjang yang dlakukannya sebagai ‘mengutip remah-remah budaya’ yang terserak di mana-mana telah membuahkan hasil ketika terwujudnya buku Tunjuk Ajar Melayu – Butir-butir Budaya Melayu Riau sekitar dua dasawarsa silam, Cetakan pertama buku ini diterbitkan oleh Bappeda Riau dan Dewan Kesenian Riau (DKR), 28 September 1994.

Boleh jadi sejumlah penulis atau peneliti lain juga melakukan pengimpunan ajaran Tunjuk Ajar Melayu dalam intensitas dan kapasitas yang berbeda. Namun, keberadaan buku yang ditulis Tenas Effendy ini  dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam memahami dan mengembangkan ajaran karakter orang Melayu ini.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook