ESAI BUDAYA

Mewariskan Tunjuk Ajar Melayu ke Generasi Baru

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 01:00 WIB

Mewariskan Tunjuk Ajar Melayu ke Generasi Baru

Pewarisan melalui jalur formal atau pendidikan tentu perlu disempurnakan dalam wujud silabus dan kurikulum yang sepenuhnya merujuk pada buku Tunjuk Ajar Melayu yang ada. Upaya ini memerlukan kesungguhan dan kerja keras dengan melibatkan para penulis dan peneliti budaya yang paham dan ahli. Langkah-langkah ini masih mungkin dilakukan apabila ajaran tunjuk ajar ini disepakati sebagai sumber utama ajaran karakter yang mesti dianut oleh seluruh orang Melayu atau orang-orang yang bermastautin di tanah Melayu Riau.

Lebih dari itu, lembaga pendidikan mjulai dasar hingga perguruan tinggi mesti menyediakan mata pelajaran atau mata kuliah Tunjuk Ajar Melayu. Kebijakan ini sekaligus mampu menjawab pertanyaan yang selalu muncul terkait keberadaan lulusan Sekolah Tinggi Seni Riau yang nota bene selama ini mengkaji seluk-beluk seni budaya Melayu. Begitu pula halnya pada lulusan Prodi Sastra Melayu yang terdapat di Fakultas Ilmu Budaya atau FKIP di sejumlah perguruan tinggi di Provinsi Riau.

Baca Juga :Pertunjukan Penutup Rangkaian HUT Kota

Upaya pewarisan secara informal tentu dapat dilakukan melalui kursus-kursus dengan  sistem dan muatan tunjuk ajar yang tepat bersumber pada buku Tunjuk Ajar Melayu yang ada. Perlu pula dilakukan TOT (Training on Trainer) di semua lembaga kursus agar pewarisan Tunjuk Ajar Melayu benar-benar menjadi gerakan massif yang berkelanjutan.

Sementara pewarisan tunjuk ajar Melayu di lingkungan perkantoran baik pemerintah maupun swasta serta masyarakat umum  dapat digerakkan melalui training-training berkaitan dengan Tunjuk Ajar Melayu. Pola pewarisan yang pernah dilakukan melalui Penataran P4 di masa Orde Baru duu dapat diadopsi dengan penyempurnaan sesuai yang diperlukan.

Tunjuk Ajar Melayu seharusnya tidak lagi hanya sekadar aspek kognitif melainkan mesti mewujud dalam aspek psiko-motorik dan efektif sehingga dapat melahirkan generasi anak jati Melayu yang tidak hanya cerdast tapi juga santun dan tunak berbudaya dengan kekayaan integritas yang patut disanjung-puji.***

Fakhrunnas MA Jabbar, lahir di Airtiris, Kampar, 18 Januari 1959. Menulis dan mempublikasikan tulisannya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel di hampir 100 media yang terbit di Indonesia sejak 1975- sekarang.  Telah menulis dan menerbitkan buku yakni  5 kumpulan puisi  (antara lain Airmata Barzanji, 2005 dan Tanah Airku Melayu, 2007), 3 kumpulan cerpen (Jazirah Layeela, 2004, Sebatang Ceri di Serambi, 2006, dan Ongkak, 2010), 2 biografi (Zaini Kunin, Sebutir Mutiara dari Lubuk Bendahara, 1993 dan Soeman Hs, Bukan Pencuri Anak Perawan, 1998) serta 5 buku cerita anak.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook