SAJAK

Sajak-sajak Marsten L Tarigan

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 00:33 WIB

Terbangun dalam Mimpi Buruk

/1/

Baca Juga :Musikalisasi Puisi Posan Omak SMAN 3 Tapung Hulu Memukau

Nalarku dibunuh kalimat-kalimat

Dengan maknanya yang tak pernah kukenal.

Seolah penyucian atas sebuah kesalahan masa lampau.

Sementara kau tau lumpang masih deras memapas

Untuk sekedar mencari keculasan dalam napas,

Yang rasanya segera ingin lekas-lekas kulepas.

Aku terbangun dalam mimpi buruk

Dan bisik-bisik bunyi makna yang tersembunyi.

Di sana aku melihat diriku sendiri berkaca,

Yang lain melukis kau dalam berbagai rupa,

Sementara itu kulihat kau membiang asap dupa.

Lantas kuucapkan mantra putih tulang,

Ada yang memanggil cintamu pulang.

/2/

Aku terbangun dalam mimpi buruk.

Ada tanda yang tanggal dan tertinggal di jalanan,

Bisik-bisik maut dan juga marahnya sang pencipta.

Aku memanggil cintamu kembali

Yang telah pergi dari ujung-ujung dupa

Ke surga penuh angsana yang tembus makna.

Malaikatnya tetap pergi mencari seseorang

Yang telah berdusta pada bahasa,

Meski sebenarnya dengan membuka mata

Adalah mulanya dosa yang nyata.

/3/

Aku terbangun dalam mimpi buruk,

Muncul gambar seseorang tergantung

Telanjang, suaranya srigala rindu mengaung.

Ada binatang yang mencercap dari lipat rahangnya,

Lalu mengejar aku sampai pada satu kelana.

Masih kudengar dia menyanyikan lagu-lagu perlawanan

Tentang adat-istiadat yang kaku dan gaya kepemimpinan

Tiba-tiba sejengkal lumpang menancap di dadanya.

Tak ada titah yang semestinya membuatku gamang

Atau yang mengikatku dengan ketirah bersulur merah.

Lalu pelan-pelan aku menimang keluhku sayang.

Hanya igau yang lepas berulangkali.

Barangkali ia selamanya terjerat di sana,

Mungkin pula aku akan menghilang

Atau terbangun lagi dalam mimpi buruk pula.

Asmaranya di Laut

Lanjai kakimu tenggelam dalam perahu

yang terisi penuh lipatan-lipatan hati lelaki.

Seperti juga matahari menyatu bersama,

tak siapapun tau ke mana arah barat.

Hanya pada kayuhan lenganmu

tersimpan harapan soal sarapan yang dinanti,

tersedia dengan sebakul kabut subuh

yang membawamu pulang

bersama ikan-ikan yang malang.

Ke ruangan basah kau melesap

dengan kayu pahatan sendiri,

benang plastik rajutan kasih,

kemudian mengarung

ke dalam luasnya hati seorang ibu.

Kau singkap takdir mereka yang lahir di laut,

yang tumbuh di balik karang.

Siapa yang mengerti soal kasmaran

bila hidup ini lupa berkeliaran?

Searah ombak kau tempuh jalan yang basah,

dikandungnya anak-anak batu.

Namun halus-kasar tubuh mereka

bisa pula menggiringmu pada belukar palsu

yang menghisap kenangan pernikahan

dan hasil persetubuhanmu.

Lantas sekayuh membuatmu

menjadi doa dan penghidang murka.

Lakon ini pula

bakal membawamu ke sebuah lapang dada,

rohani yang menuntun penciumanmu

pada lekuk lengkung gigir tubuh istrimu

atau anak-anak yang kau didik jadi kayu.

Sebab bila cuma rasa asin yang kau bawa pulang,

menggoda adalah satu-satunya cara.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook