Terbangun dalam Mimpi Buruk
/1/
Nalarku dibunuh kalimat-kalimat
Dengan maknanya yang tak pernah kukenal.
Seolah penyucian atas sebuah kesalahan masa lampau.
Sementara kau tau lumpang masih deras memapas
Untuk sekedar mencari keculasan dalam napas,
Yang rasanya segera ingin lekas-lekas kulepas.
Aku terbangun dalam mimpi buruk
Dan bisik-bisik bunyi makna yang tersembunyi.
Di sana aku melihat diriku sendiri berkaca,
Yang lain melukis kau dalam berbagai rupa,
Sementara itu kulihat kau membiang asap dupa.
Lantas kuucapkan mantra putih tulang,
Ada yang memanggil cintamu pulang.
/2/
Aku terbangun dalam mimpi buruk.
Ada tanda yang tanggal dan tertinggal di jalanan,
Bisik-bisik maut dan juga marahnya sang pencipta.
Aku memanggil cintamu kembali
Yang telah pergi dari ujung-ujung dupa
Ke surga penuh angsana yang tembus makna.
Malaikatnya tetap pergi mencari seseorang
Yang telah berdusta pada bahasa,
Meski sebenarnya dengan membuka mata
Adalah mulanya dosa yang nyata.
/3/
Aku terbangun dalam mimpi buruk,
Muncul gambar seseorang tergantung
Telanjang, suaranya srigala rindu mengaung.
Ada binatang yang mencercap dari lipat rahangnya,
Lalu mengejar aku sampai pada satu kelana.
Masih kudengar dia menyanyikan lagu-lagu perlawanan
Tentang adat-istiadat yang kaku dan gaya kepemimpinan
Tiba-tiba sejengkal lumpang menancap di dadanya.
Tak ada titah yang semestinya membuatku gamang
Atau yang mengikatku dengan ketirah bersulur merah.
Lalu pelan-pelan aku menimang keluhku sayang.
Hanya igau yang lepas berulangkali.
Barangkali ia selamanya terjerat di sana,
Mungkin pula aku akan menghilang
Atau terbangun lagi dalam mimpi buruk pula.
Asmaranya di Laut
Lanjai kakimu tenggelam dalam perahu
yang terisi penuh lipatan-lipatan hati lelaki.
Seperti juga matahari menyatu bersama,
tak siapapun tau ke mana arah barat.
Hanya pada kayuhan lenganmu
tersimpan harapan soal sarapan yang dinanti,
tersedia dengan sebakul kabut subuh
yang membawamu pulang
bersama ikan-ikan yang malang.
Ke ruangan basah kau melesap
dengan kayu pahatan sendiri,
benang plastik rajutan kasih,
kemudian mengarung
ke dalam luasnya hati seorang ibu.
Kau singkap takdir mereka yang lahir di laut,
yang tumbuh di balik karang.
Siapa yang mengerti soal kasmaran
bila hidup ini lupa berkeliaran?
Searah ombak kau tempuh jalan yang basah,
dikandungnya anak-anak batu.
Namun halus-kasar tubuh mereka
bisa pula menggiringmu pada belukar palsu
yang menghisap kenangan pernikahan
dan hasil persetubuhanmu.
Lantas sekayuh membuatmu
menjadi doa dan penghidang murka.
Lakon ini pula
bakal membawamu ke sebuah lapang dada,
rohani yang menuntun penciumanmu
pada lekuk lengkung gigir tubuh istrimu
atau anak-anak yang kau didik jadi kayu.
Sebab bila cuma rasa asin yang kau bawa pulang,
menggoda adalah satu-satunya cara.