SEMBANG MARHALIM ZAINI

Titik Nol

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 00:08 WIB

DALAM kolofon teks Sejarah Melayu (Sulalat al Salatin), sebuah naskah klasik yang teramat tua, ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi “fakir alladi murakkabun ala jahilin.” Tun Sri Lanang, sang penyalinnya di tahun 1612 (versi naskah Ms.18 Raffles Collection), sengaja menuliskan pepatah itu, yang seolah hendak menandaskan bahwa dirinya hanyalah “orang yang dungu sekali, berlipat ganda kebodohannya.”

Tapi, kenapa sedemikian “rendah”-nya ia memosisikan diri. Padahal, bukan pula orang sembarangan Tun Sri Lanang ini. Ia seorang bangsawan bergelar Paduka Bendahara Raja, anak orang kaya Paduka Raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Tun Narawangsa.

Baca Juga :Festival Diharapkan Bisa Membangun Iklim Bersastra yang Baik

Boleh jadi, ada beberapa sebab. Pertama, untuk menunjukkan rasa hormatnya yang tinggi kepada sang Raja (sebagai patron), Sultan Abdullah Mu’ayat Syah, yang memerintahkan penyalinan naskah tersebut. Kedua, boleh jadi juga, karena teks yang akan ia salin itu adalah juga naskah yang telah mengalami perjalanan cukup panjang, dari tangan ke tangan (setidaknya lebih 30 versi naskah yang tersebar di seluruh dunia), sehingga ia merasa tidak “berhak” berbangga diri. Atau, ketiga, agaknya tersebab naskah ini memang teramat penting—terkait dengan sejarah kegemilangan, pun kejatuhan Kesultanan Melayu Melaka—sehingga merasa harus “berhati-hati.”

Namun, terlepas dari soal sebab-musabab itu, saya justru hendak menelisiknya dari sisi lain. Setidaknya ada tiga hal pula. Pertama, bahwa demikianlah kiranya seorang penulis mesti memosisikan dirinya. Posisi yang kerap saya sebut dengan “titik nol.” Di mana, ketika seorang penulis/pengarang akan mulai menulis, ia harus “terbebas” dari berbagai beban identitasnya, kebesaran namanya, kehebatan karya-karyanya yang lampau, dan lain-lain. Ia berangkat menulis dari garis awal, dari titik nol. Sehingga ia dapat menulis dengan lebih leluasa. Tanpa beban. Dan dengan begitu, tak pernah usai upaya eksplorasi penciptaannya.

Kedua, dengan “merendahkan diri” sebagai orang fakir, orang jahilin, orang dhoif, maka penulis terhindar dari kesombongan. Tidak kemudian merasa bahwa karya yang ia tulis itulah yang paling baik, lebih berkualitas dibanding karya orang lain, dan selalu mengakui ada langit lain di atas langit. Artinya, ia pun harus kembali ke “titik nol.”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook