SEMBANG MARHALIM ZAINI

Titik Nol

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 00:08 WIB

Ketiga, naskah Sejarah Melayu, sebagaimana juga kebanyakan dari naskah klasik Melayu yang lain, tak bisa dengan mudah dipisahkan dari pengaruh agama Islam. Selain tampak dari penggunaan bahasa Arab, juga sangat jelas ditengarai dari bacaan Bismillahirrahmanirrahim untuk mengawali, lengkap dengan segala puji-pujian kepada Allah SWT. Artinya, di hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta, si penulis—dalam konteks penciptaan—tetaplah seorang makhluk yang dhoif.

Dan rupanya, semangat semacam ini terus sampai pada kita, di zaman yang jauh. “Walau penyair besar,” kata Sutardji dalam puisinya berjudul "Walau", “tak kan sampai sebatas Allah...” dan menutup puisinya dengan, “walau huruf habislah sudah/ alifbataku belum sebatas Allah.” Rasa “rendah diri” ketika berhadapan dengan Allah, membuat si pengarang menjadi dhoif, fakir, jahilin. Dan, saya kira, di sinilah proses di mana Sutardji kembali ke “titik nol” itu.

Baca Juga :Festival Diharapkan Bisa Membangun Iklim Bersastra yang Baik

Namun, “rendah diri” ini, kembali ke “titik nol” ini, mestinya bukanlah rendah diri yang membuat seorang pengarang menjadi “tak percaya diri.” Rendah diri ini, justru dapat memotivasi pengarang untuk bangkit, menggali potensi dirinya lebih maksimal, terutama dalam menghasilkan karya-karya—meminjam Braginsky (1993)—yang “indah dan berfaedah.”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook