Namun,
dalam tafsir Jokowi, kata pemberdayaan itu bernilai relatif, tidak
jelas. Kalau dipakai kalimat pemberdayaan nelayan, pengecatan trotoar di
pinggir jalan pun masuk, imbuh Jokowi, sehingga harus diganti dengan kata yang
bernilai konkret. Misalnya, kalimat pembelian perahu tangkap ikan, beli jaring,
atau beli benih yang diikuti
dengan jumlah satuan tertentu.
Namun,
pembaca barangkali bingung: “Ini yang bingung presiden atau menterinya, atau
keduanya?” Sang Menteri menyebut programnya sementara Sang Presiden menyebut
bentuk kegiatannya. Kebingungan itu barangkali tidak terjadi apabila ada
batasan antara program kerja dan bentuk kegiatan. Secara administratif,
biasanya, dalam satu program kerja terdapat beberapa bentuk kegiatan. Dalam
program kerja perberdayaan nelayan itu misalnya, bisa jadi ada bentuk
kegiatan: 1) pembelian perahu tangkap ikan (sebanyak 2000 buah), 2) pembelian jaring
(sebanyak 200.000 buah), 3) pembelian benih (sebanyak 200.000.000 ekor). Nah,
apakah Menteri Susi sudah mencantumkan bentuk kegiatan sejenis itu misalnya
dalam program pemberdayaan nelayannya itu atau belum? Jika belum, pantas
saja Jokowi mengulang beberapa kali agar K/L jangan memakai “kalimat bersayap” dalam menyusun atau merumuskan
program kerja.
Selain persoalan kesalahanpemahaman antara program dan bentuk kegiatan di atas, ada lagi yang menggelitik untuk dicermati dari “larangan” Jokowi itu, yakni pemahaman kalimat bersayap. Secara linguistis, bentuk pemberdayaan nelayan bukanlah kalimat, tetapi frasa (kelompok kata yang maknanya dapat ditelusuri dari kata-kata yang menyusunnya). Agar tidak kelihatan seperti linguis, barangkali Jokowi dapat menyebutnya dengan kata-kata.