KOLOM ALINEA

Kalimat Bersayap

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:05 WIB

Para pejabat di  kementerian dan kelembagaan (biasa disingkat K/L) resah karena cara berbahasa me­reka dalam menyusun program kerja diprotes sang ata­san, Presiden Joko Wi­dodo. “Jangan memakai ‘kalimat bersayap’ dalam meru­mus­kan dan menyusun program-program kerja,” kata Jokowi saat penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DI­PA) dan Anugerah Daerah Berprestasi Penerima Dana Insentif Daerah Tahun Ang­garan 2016 pada 14 De­sem­ber 2015. Kalimat ber­sayap, menurut Jokowi, berpotensi  membuat Anggaran Pen­da­patan dan Belanja Ne­gara (APBN) mem­bengkak dan tidak terkontrol.

Bagaimana memahami logika Jokowi dengan sim­pulan seperti itu: me­ngaitkan kalimat bersa­yap dan tidak terkontrolnya penggunaan dana APBN? Bukankah an­tara kalimat bersayap dan kontrol atas pengelolaan da­na APBN merupakan dua perkara yang berbeda? Bu­kankah yang satu per­soa­lan berbahasa sedangkan sa­tu­nya lagi berkaitan dengan kemampuan bekerja aparat pemerintah negara?

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Mari kita lihat kalimat bersayap yang dimaksud dan diprotes oleh Jokowi. Pre­siden menyebut pem­ber­da­yaan nelayan yang dipakai dalam program Kementerian Kelautan dan Perikanan (K­KP)  merupakan kalimat ber­sayap.  Kata pember­dayaan dinilai beliau bersifat absurd, bermakna membingungkan, dan multitafsir.

Benarkah kata pember­dayaan itu membingungkan dan multitafsir alias “ber­sayap”?  Kata pem­ber­da­yaan berasal dari kata dasar daya yang artinya “kemampuan mela­ku­kan sesuatu atau kemam­puan bertindak: bangsa yg tidak bersatu tidak akan mem­punyai — untuk meng­hadapi agresi dr luar; 2 ke­kuatan; tenaga (yg me­nyebabkan se­suatu ber­gerak dsb); 3 mus­lihat: ia melakukan segala tipu — untuk mencapai mak­sudnya; 4 akal; ikhtiar; upaya: ia berusaha dng segala — yg ada padanya;” (KBBI, 2008).

Secara leksikal, kata pem­berdayaan berarti ‘pr­oses, cara, perbuatan mem­buat berdaya (me­miliki daya)’. Maka, pem­ber­dayaan ne­layan berarti ‘proses, cara, per­buatan membuat berdaya (memiliki daya) para nelayan.’

Dengan demikian ka­limat  pemberdayaan ne­layan tidak keliru dipakai dalam program kerja KKP, karena nelayan menjadi ob­jek yang akan diber­dayakan atau ditingkatkan. Tafsir umum terhadap teks program kerja KKP itu bahwa nelayan di negeri ini adalah kaum yang lemah dari se­gala aspek kehidupan. Se­bagai kaum lemah, ne­layan membutuhkan upaya-upa­ya konkret  pemerintah agar menjadi warga yang ber­daya dalam segala dina­mika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga yang tidak berdaya, nelayan harus diberdayakan dalam segala aspek kehidupan. Maka, kalimat pem­ber­da­yaan nelayan me­ngacu pada makna mening­katkan segala aspek kehidupan nel­a­yan dengan cara mem­berikan apa yang me­reka butuhkan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook