PERISA YUSMAR YUSUF

Negara dan Makanan

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 00:09 WIB

Setelah ikatan jumlah manusia membesar dan diikuti dengan efisiensi waktu dan energi dalam proses produksi makanan, maka negara terbentuk dan kian menjadi berlipat-lipat dalam mesin birokrasi dan manajemen. Di sini negara tidak saja mengatur distribusi makanan, akan tetapi sekaigus bertindak untuk mengatur dan mengurus keamanan atas orang-orang yang bergerak menempuh ruang-ruang dekat apatah lagi gerakan (mobiltas) ke ruang-ruang jauh, karena setiap orang yang melintas ke ruang-ruang asing itu, akan tetap dianggap asing dan aneh (weird) oleh kaum-kaum tertentu, sehingga dia menimbulkan rasa curiga dan ancaman.

Melalui pengalaman mengatur dan mengurus poduksi dan distribusi makanan itu, maka negara tidak bisa berbicara tentang impor bahan baku makanan, apakah makanan itu berasal dari sumber nabati atau hewani. Setiap negara, dengan pegalaman awal dalam sejarah pembentukan negara, suka atau tidak suka, tetap harus  menempatkan keterjaminan pangan dan ketersediaan pangan bagi penduduknya, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi (condition sine qua non). Sebab bangsa yang terjamin makanannya lah yang bisa membangun peradaban dan kebudayaan yang ranggi di muka bumi.



Memang, dalam varian lain, bahwa luka dan kelaparan akan melahirkan kreativitas dan rasa cinta atas sesama. Namun, luka dan kesusahan yang diarungi itu pasti dengan maksud menuju kebahagiaan hidup, terutama dalam hal keterjaminan asupan makan dan minum. Asupan gizi dan jaminan vitamin yang cukup yang diperlukan untuk diserap oleh tubuh dan keperluan tumbuh kembang otak dan syaraf.

Peradaban bangsa yang tinggi dan ranggi, tidak lagi mempermasalahkan ketersediaan pangan. Bangsa ini sudah sampai pada level bermain (ingat homo ludens); yang berandai pada tesis manusia sebagai makhluk bermain. Kita saat ini belum sampai pada level bangsa bermain itu. Kita masih dibelit dengan persoalan-persoalan dasar. Sejatinya, ihwal keterjaminan pangan, telah menjadi isu sentral pada setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan yang paling sederhana sekalipun. Komunitas kawanan (band) yang teramat sederhana, bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah mencari tapak lahan yang tumbuh recup rumput dan dibasahi hujan.

Penanda subur. Mereka bisa menanam sekaligus meramu dan berburu.  Maka, menjadi ironis, ketika sebuah negara yang kaya, memiliki ketersediaan dan bentang lahan yang luas dan subur, namun masih mengalami krisis pangan, masih bergantung pada impor pangan, sebagaimana yang kita jalani hari ini. Berhari-hari, berbulan dan bertahun-tahun. Untuk dan demi itu semua, tiada pelawa atau tawaran apapun dalam menjalani tugas suci negara, kita harus memulai lagi kesadaran tentang produksi pangan sebagai syarat utama bagi terbentuknya sebuah negara. Dalam sejarahnya…***

Baca Juga : Berharap Hujan








Tuliskan Komentar anda dari account Facebook