RITUAL MENGENANG DUKUN HARIMAU

Gombak Opon

Seni Budaya | Minggu, 07 Juni 2020 - 12:36 WIB

Gombak Opon

Doa selesai, ritual berakhir, masyarakat lega. Semua yang hadir turut mengusapkan air cucian Gombak ke kening dan leher belakang, dengan harapan, mereka dan kampungnya tetap terjaga dari segala mara bahaya dan bencana besar. Sebagai ungkapan rasa syukur, terima kasih dan kebersamaan, semua masyarakat makan bersama dengan lauk kambing yang dipotong memang dikhususkan untuk ritual tersebut.

‘’Dulu ritual ini dilakukan setiap tahun. Setelah 26 tahun, baru ini dilakukan lagi. Kegiatan ini lebih kepada bagaimana kami ingin menghidupkan kembali budaya dan tradisi nenek moyang kami yang ada sejak lama agar anak cucu tahu bahwa ada sebuah kisah, ada sebuah sejarah besar dulunya di kampung ini dan sekitarnya. Apalagi bukti sejarah itu masih ada, Gombak itu masih ada dengan usianya yang ratusan tahun,’’ ujar tokoh masyarakat Desa Sungai Rambai, Madi yang mengawal pelaksanaan kegiatan tersebut sejak awal hingga akhir.


Disebutkan Madi, seiring perjalanan waktu dan musim, semua bisa berubah. ‘’Tapi lupa dengan masa lalu kita, sejarah kita, jangan sampai terjadi. Semoga kami menjadi generasi yang selalu menjaga tradisi dan warisan nenek moyang serta tahu berterimakasih,’’ sambungnya lagi.

Daerah Harimau

Tidak hanya di Desa Sungai Rambai saja ritual untuk menjaga kampung dari serangan harimau ini ada. Dulu, ratusan tahun lalu, hampir setiap kampung di kawasan Kampar Kiri Hulu, khususnya di kaki bukit Rimbang Baling yang merupakan bagian Bukit Barisan, memiliki tradisi ini. Lain desa, lain namanya, lain pula caranya. Tapi intinya tetap sama, yakni sebuah kegiatan yang membuktikan hubungan harmonis antara alam dan manusia. Tidak ada orang yang membunuh harimau, meski terancam nyawanya ketika itu. Mereka lebih suka melakukan pengusiran dengan cara tradisional, dengan doa-doa dan mantra.

Tidak hanya di Desa Sungai Raja dan sekitarnya, di desa lain di sepanjang tepian Sungai Subayang yang juga Kampar Kiri dan tidak jauh dari Sungai Sitingkai, ritual yang sama juga ada. Masih terjaga dan dilakukan hingga saat ini. Ritual itu disebut dengan Semah Rantau. Dari sepuluh desa yang ada di sepanjang Sungai Subayang, hanya dua desa saja lagi yang masih menjaga ritual tersebut, yakni Desa Aur Kuning dan Desa Tanjung Beringin. Hal ini terjadi karena pergeseran waktu dan perlu biaya besar untuk melaksanakan ritual tersebut.

Di kawasan Rimbang Baling, memang masih ada harimau. Dibandingkan hutan-hutan lain di Riau, kawasan ini memiliki jumlah terbanyak. Tapi, tentu saja tidak sebanyak dulu atau ratusan tahun lalu. Semakin banyak desa, semakin banyak kawasan terbuka, ini menjadi ancaman tersendiri bagi harimau sehingga jumlahnya terus berkurang.(ose)

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook