SENGGANG MARHALIM ZAINI

Menjiplak

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 01:57 WIB

Dan, pembaca kita, bukankah lebih banyak pembaca yang “cair” dibanding pembaca yang “kritis.” Tentu, bagi pembaca yang kritis, tidak terlalu sulit untuk menemukan apakah sebuah karya itu plagiat, atau sekedar epigon. Dalam memorinya, telah tertancap dengan kuat, berbagai kecenderungan karya para penulis terdahulu—meskipun tidak juga mudah mendeteksi serbuan teks yang hadir kini. Namun, bagi pembaca “cair” teks-teks yang berseliweran itu adalah semata teks, seolah tak memiliki sejarah. Teks, yang tiap saat bisa hadir di manapun, oleh siapapun. Menjadi tidak terlalu penting, siapa yang menulis teks itu.  

Akan bertambah rumit lagi, jika kemudian dihubung-hubungkan pula dengan teori mimesis misalnya, atau teori intertekstual, atau ihwal keterpengaruhan. Bahkan, kalau dikaitkan pula dengan dunia kelisanan kita. Berbagai perangkat teori itu, secara sederhana (bahkan serampangan) bisa saja dijadikan sebagai senjata untuk menampik tuduhan plagiasi. Perdebatan terjadi, dan tidak gampang mengurainya. Apalagi, undang-undang HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) kita, di dunia keberaksaraan kita yang tertatih-tatih ini, tidak bisa berjalan dengan semestinya.

Lalu, bagaimana kalau kita bicara tentang “orisinalitas” sebuah karya, hari ini? Sejak lama, saya meletakkan pemahaman saya bahwa soal “orisinalitas” adalah soal “kreativitas.” Dengan menempatkan orisinalitas berbanding lurus dengan kreativitas, maka sesungguhnya saya sedang memberi ruang “pengayaan” atau “perluasan” pada proses produksi teks (oleh si pengarang). Artinya, pengelanaan seorang pengarang ketika dalam proses menulis, menuangkan gagasan-gagasan, adalah pengelanaan seorang pengembara yang telah dibekali oleh gagasan-gagasan yang terdapat di dalam “teks-teks lain.” Tapi, sekali lagi, bukan dengan cara menjiplak.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook