SENGGANG MARHALIM ZAINI

Sayembara Puisi

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 00:30 WIB

Jika misalnya, dewan juri memilih “memenangkan” puisi yang mengangkat tema homoseksual, yang (sebagaimana catatan dewan juri sayembara manuskrip puisi DKJ) “kisah-kisahnya disampaikan dengan nada ringan, nyaris komikal,” maka itulah pilihan dewan juri. Tentu, hemat saya, puisi-puisi dari penyair lain yang tidak mengangkat tema homoseksual, tapi mengangkat tema tentang para buruh, tentang kehidupan orang suku terasing, tentang sejarah, tentang pernak-pernik kebudayaan lokal, tidak otomatis jadi “buruk” dan berhenti menulis puisi.

Ihwal lokal ini, begini bunyi penjelasan dewan juri: “unsur-unsur lokal itu cenderung menjadi eksklusif, tidak terdeskripsikan dan terterjemahkan dengan baik dan memadai sehingga menghambat dan mempersulit pemaknaan.” Tentu, kita pun boleh menduga kemudian, bahwa apa yang disebut “eksklusif” itu adalah agaknya puisi yang lebih kental pola ucap (bahasa) lokalnya, yang tak jarang memasukkan bahasa-bahasa yang arkais. Maka, konon, terhambatlah memang proses pemaknaannya, sebab kita kini rupanya sehari-hari memang lebih akrab dengan bahasa televisi, bahasa ringan, gaul, populer dan komikal.   


Dan bukankah dengan begitu, juri hendak mengatakan, wahai puisi, jangan suka berjauh-jauh dengan pembaca dari lingkungan bahasa keseharian yang semacam itu, yang ringan, dan tidak ribet. Mari berkomunikasi dengan wajar saja. Kamu, puisi, harus keluar dari gua-gua di kampung-kampung, di hutan-hutan, turun dari gunung-gunung, dan pergilah ke kota. Berbahasalah seperti orang kota berbahasa. Sebab, di kota metropolitan, puisi itu berbau harum, dan hidup dalam ruang hibriditas yang lebih kompleks.

Lalu, ketika di bagian lain juri menjelaskan tentang keunggulan pemenang pertama sayembara ini yang berbunyi begini, “kadang lewat gaya pengakuan pesudo-memoir, kadang lewat kode-kode literer yang bakal memerlukan detektif sastra untuk memecahkannya...,” saya tiba-tiba jadi bimbang. Tiba-tiba jadi ingin kembali menggelar sidang puisi yang pernah berlangsung berpuluh tahun lalu...***













Tuliskan Komentar anda dari account Facebook