SENGGANG MARHALIM ZAINI

Narsisme

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:09 WIB

Nah, dalam dunia perpuisian, narsisme sebetulnya pun bukan barang asing. Selain, penyair dalam konteks sebagai individu, narsisme menjadi sumber inspirasi tersendiri dalam penciptaan puisi. Penyair Inggris, John Keats misalnya, pernah menulis puisi panjang berjudul I Stood Tip-Toe on Top of a Hill. Dua baris di antaranya saya kutipkan di sini, “What first inspired a bard of old to sing/ Narcissus pining o’er the untainted spring?”

Yang menarik agaknya, jika kemudian muncul pertanyaan di manakah “posisi” penyair sebagai individu yang juga menjadi bagian (tak terpisahkan) dari masyarakatnya yang “narsistik” itu? Kita tentu menjadi kuatir jika si penyair telah kehilangan kepekaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga, teks-teks yang dihasilkan cenderung berkutat pada tema-tema “narsistik”, dan tampak kian berjarak dari masyarakatnya.


Maka, akan tergeruslah pernyataan Federico Garcia Lorca, yang bilang bahwa “the poet is a professor of the five bodily sense.” Kepekaan indrawi, yang dimaksud Lorca, menurut saya adalah juga soal klaim bahwa penyair yang “baik” dan “besar” itu adalah yang “menghidupkan” semua sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya. Kecerdasan seorang penyair dengan demikian adalah juga terkait dengan kecerdasan berbahasa, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional. Maka gelar “profesor” itu menjadi legitimated.

Tapi, bisakah “narsisisme” itu menjadi positif? Tentu bisa, jika bakat dan sifat bawaan manusia itu, menjadi energi untuk membangkitkan rasa cinta pada “tubuh sosial” melalui rasa cinta pada “tubuh individu.” Sebab, betapapun, bukankah memang ke sana maksud dari kalimat yang kerap kita sebut ini, “karya sastra (seni) tidak lahir dari ruang kosong.” Begitu penyair melihat wajah dirinya di dalam teks puisi, maka yang terlihat adalah wajah masyarakat yang melahirkannya.***     









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook