KOLOM ALINEA

Perempuan Berkarya

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:32 WIB

Perempuan Berkarya

Mununculnya para pengarang perempuan menjadi fenomena tersendiri. Kalau selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan berbagai biasnya, sudah saatnyalah para pengarang perempuan menulis tentang dirinya, tentang laki-laki, tentang hubungan perempuan-laki-laki, dan tentang dunia dari perspektif perempuan. Dengan demikian, mereka akan membongkar represi atau penindasan sosial yang selama ini diderita oleh perempuan.

Gebrakan inilah yang sering dikenal dengan istilah feminisme. Feminisme merupakan gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan. Gerakan feminisme lahir dari sebuah ide yang berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Dengan kata lain, feminisme merupakan basis teori dari gerakan pembebasan.

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Feminisme pun terjadi dalam dunia sastra. Sebenarnya, sejak awal tahun 1890-an, di Hindia Belanda (yang kemudian disebut Indonesia), karangan berbentuk buku yang merupakan kontribusi para penulis perempuan telah muncul. Kemudian, pengamatan Claudine Salmon dalam Sastra Indonesia Awal (2011), yang juga sejalan dengan penelitian Maman S. Mahayana (2000), mengungkapkan maraknya penerbitan surat kabar pada awal abad XX telah memberi andil cukup besar terhadap lahirnya para pengarang perempuan pada masa itu, seperti Siti Soendari, Siti Hendoen Zaenaboen, Soeratoen, Rr. Oenoen Andiloen, R.A. Latip, Rr. Soelastri, dan Soemirah Margolelo (Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia,  2012).

Selain itu, muncul pula nama R.A. Kartini. Entah apa penyebabnya, nama ini seolah sengaja dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Padahal, perempuan Jawa (1879—1904) ini adalah seorang penulis andal yang menulis dengan bahasa Belanda yang sangat fasih dan tertata. Kartini, dalam surat-suratnya kepada  Abendanon banyak menulis keluhan, harapan, dan impiannya mengenai kemajuan kaum wanita. Barangkali, inilah alasannya mengapa perempuan kelahiran Jepara itu tidak tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Aspek kebahasaan menjadi lambang elan nasionalisme menjadi aspek yang sangat penting pada masa kelahiran sastra Indonesia kala itu. Selain itu, karya berupa surat tidak diperhitungkan sebagai karya sastra di Indonesia. Padahal, di Amerika, pidato pengukuhan presiden saja dikategorikan sebagai karya sastra.

Sangat banyak sebenarnya pengarang perempuan di Indonesia. Namun sayang, dalam sejarah sastra Indonesia tidak banyak nama perempuan disebutkan, termasuk karya yang mereka hasilkan. Kedudukan dan karya mereka tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang laki-laki. Jejak mereka (seperti Ida Nasution, Siti Nuraini, Widia Lusia Zulia, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono, Rita Oetoro, Isma Sawitri, dll.) nyaris tidak pernah terlacak. Saat ini, sangat sulit mencari buku untuk merekam jejak para pengarang perempuan  Indonesia. Buku-buku yang ada nyaris tidak mampu merepresentasikan keberadaan para pengarang perempuan itu secara utuh.

Pamusuk Eneste dan Korrie Layun Rampan berusaha mengumpulkan profil para pengarang Indonesia dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern Edisi Baru (1981) dan Leksikon Susastra Indonesia (2000). Kedua buku yang selama ini dijadikan acuan ternyata lebih banyak memuat nama pengarang laki-laki. Dalam buku Angkatan 2000 Sastra Indonesia (2000), Korrie Layun Rampan pun hanya memuat 17 pengarang perempuan dari 78 nama pengarang yang ada. Tentu saja ini belum mewakili pengarang perempuan yang ada saat itu. Hasanuddin W.S., dkk. pun dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia (2004) menegaskan betapa sedikitnya peran perempuan dalam panggung sastra Indonesia. Tidak heran, Nenden Lilis A. menyebutkan bahwa di dunia literer, perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan (“Kepada yang Melupakan” dalam Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Sihir Terakhir, 2009).

Untuk mencatat sejarah perjalanan kepengarangan perempuan di Indonesia dari zaman ke zaman, Kurniawan Junaedhie telah menghimpun 800-an nama pengarang perempuan  dalam Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia (2012). Di dalam buku ini tercatat dari Saadah Alim (9 Juni 1897) hingga Sri Izzati (18 April 1995), yang juga memuat perempuan Lekra dan Tionghoa (yang selama ini tidak pernah tercatat dalam sejarah sastra Indonesia).

Di Riau, upaya memetakan pengarang (khususnya penyair) perempuan telah pula dilakukan. Junaidi, seorang esais sastra yang juga seorang dosen di Universitas Lancang Kuning, telah berupaya memetakan penyair perempuan Riau dalam tulisannya “Melihat Peta Penyair Perempuan Riau” yang terangkum dalam Peta dan Arah Sastra (2011). Identitas penyair perempuan Riau diperolehnya dengan menelusuri berbagai terbitan, misalnya buku yang diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru: (1) Musim Bermula: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Se-Sumatera (2001); (2) Kemilau Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia (2003); dan (3) Pesona Gemilang Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia II (2004). Dari ketiga buku tersebut, terdapat beberapa nama, antara lain Ar Kemalawati, Cecen Cendrahati, D.M. Ningsih, Herlela Ningsih, Kunni Masrohanti, Tien Marni, Zainurmawaty, Asnah Dumasari, Budy Utamy, Endang Indrayani Ramlan, Hamidah, Murparsaulian, Natalia Lili, Nurhayati, Qori Islami, Verrin Y.S., Rina N. Entina, Novi Yanti, dll. Dalam beberapa kumpulan puisi bersama yang merupakan sajak pilihan Riau Pos setiap tahunnya, seperti Komposisi Sunyi (2007), Tamsil Syair Api (2008), Ziarah Angin (2009), Fragmen Waktu (2010), Riwayat Tanah (2011), Sekeping Ubi Goreng (2012), Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bendera Putih untuk Tuhan (2014), dan Pelabuhan  Merah (2015), diperoleh nama lainnya: Dien Zhurindah, Alvi Puspita, Wetry Febrina, Susi Susanti, Zurnila Emhar, Cahaya Buah Hati, Cikie Wahab, Srikartini Ningsih, Sugiarti, dll.

Banyaknya nama perempuan yang bersastra ini menunjukkan bahwa para perempuan pun (berhak) bergiat di panggung kesastraan. Meskipun, konon, Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, yang seolah memberikan legitimasi lemahnya perempuan sehingga mitos inferioritas terus berkembang, perempuan tetap memiliki hak memaknai dunia mereka sendiri dengan cara tersendiri pula. Sudah saatnyalah kaum perempuan melepaskan diri dari keterkungkungan masyarakat patriarki yang membelenggu. Wahai perempuan, mari berkarya!***

Dessy Wahyuni, peneliti sastra di Balai Bahasa Provinsi Riau.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook