Cerita yang Merawat Rantau

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2022 - 12:59 WIB

Cerita yang Merawat Rantau
TARIK PELEPAH PINANG: Salah satu permainan tradisional di Kampar Kiri adalah tarik pelepah pinang, seperti di Desa Pangkalan Kapas ini, beberapa waktu lalu. (KUNNI MASROHANTI/RIAU POS)

Beberapa catatan sejarah sering kali menjadi perawat kehalusan akar tradisi di banyak wilayah. Begitu juga di Riau.

(RIAUPOS.CO) - Catatan-catatan ini juga tertata rapi di Kabupaten Kampar, khususnya di bagian kiri. Catatan tersebut antara lain, Ekspedisi Pamalayu dari Majapahit dengan tokoh Gagak Jao meninggalkan situs Batu Belah di Sungai Subayang, catatan Thomas Diaz tahun 1684 yang datang ke Pagaruyung dan melintasi Rimbang Baling dalam rangka kerja sama Kerajaan Pagaruyung dan VOC.


Negeri Kampar Kiri dikenal dengan keberadaan Kerajaan Gunung Sahilan. Negeri ini dinamakan Negeri Tigo Selo yang kenegeriannya adalah Ludai, Ujung Bukit, Gunung Sahilan, Lipatkain, Kuntu dan Batu Songgan dengan  pusat pemerintahan kerajaan adalah Gunung Sahilan.

Sejak masa kerajaan, tatanan pemerintahan pada kawasan ini  terbagi pada  kenegerian/kekhalifahan. Untuk wilayah Kampar Kiri atau disebut juga Rantau Kampar Kiri, terdiri dari kenegerian/khalifah Kuntu, Batu Sanggan, Ujung Bukit dan Ludai.

Sistem kekhalifahan ini hingga kini masih ada walaupun secara pemerintahan perannya sudah digantikan oleh sistem pemerintahan yang berlaku. Namun peran para khalifah dan ninik mamak tetap dipertimbangkan dalam hal pengambilan keputusan terkait adat. Terlebih sejak Raja Gunung Sahilan bergelar Raja Adat Raja Ibadat dinobatkan awal tahun 2017.

Keunikan masyarakat Rantau Kampar Kiri khususnya Bukit Rimbang Baling dapat terlihat dari berbagai tradisi yang hingga kini masih terus dipertahankan seperti Semah Rantau, Batimang yang sudah ratusan tahun diturunkan. Hingga Lubuk Larangan, tradisi yang diperkirakan dimulai tahun 1970-an, yaitu masyarakat berupaya untuk melindungi bagian dari sungainya untuk ketahanan sumber pangan.

Tradisi ini  tidak saja memiliki nilai budaya mengikat silaturahmi dan gotong royong masyarakat namun juga nilai konservasi terjaganya hutan dan sungai untuk dapat menjaga keberlangsungan berbagai jenis ikan.

Lubuk larangan ini kini juga menjadi momen yang menarik bagi pengunjung untuk belajar memahami kehidupan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling.

Bukit Rimbang Bukit Baling dibelah  sungai besar dan anak-anak sungai. Di sungai inilah peradaban dan kebudayaan manusia bermula sejak lama. Ratusan tahun silam.

Kehidupan sudah lama terjadi di kawasan ini. Begitu juga di sekitar Sungai Kujano, yang berada di atas hulu Sungai Subayang. Sungai yang airnya juga mengalir hingga ke Sungai Singingi ini, berada di kawasan perbatasan Sumbar dan Riau. Tak heran, jika masyarakatnya –ketika itu - dengan leluasa berjalan melintasi Bukit Barisan, menjelajah hingga ke Sumbar.

Kondisi Sungai Kujano dan kawasan Bukit Barisan ketika itu sudah pasti jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Rimba masih sebenar-benar rimba. Masyarakat memanfaatkan rimba benar-benar sebagai sumber kehidupan; tempat memenuhi sandang dan pangan, secukupnya.  Menebang kayu dengan kapak untuk keperluan membuat rumah serta kayu bakar.

Menjerat burung dan rusa atau hewan lainnya hanya untuk kebutuhan makan.

Sudah pasti flora dan fauna di dalamnya masih sangat beragam. Utuh. Banyak. Tidak terusik oleh berbagai kegiatan atau suara-suara mesin chainsaw seperti yang banyak terdengar saat ini, atau bahkan suara tembakan karena perburuan liar. Kujano ketika itu adalah sebuah kampung tempat tinggal yang berada di dalam rimba raya yang kaya dengan flora fauna dan segala isinya. Berada di tengah lembah dengan kawasan perbukitan di seluruh sisinya. Di tengah lembah inilah Sungai Kujano mengalirkan riak-riak kebudayaan penghuninya.

Cerita soal Kujano, sangat banyak versi. Sebagian orang menyebutkan, Kujano hanya nama sebuah sungai. Ada juga yang menyebut hanya kawasan hutan, bukan perkampungan. Ada juga yang menyebut hanya tempat berladang, kalaupun ada rumah, hanya rumah ladang yang menjadi tempat berteduh ketika masyarakat datang berladang, mencari burung untuk makan atau mencari ikan. Tapi, sebagian ada yang menyebutkan, bahwa

Kujano memang merupakan sebuah perkampungan. Perbedaan tentang keberadaan Kujano sebagai sebuah kampung atau bukan tergantung kepada siapa yang bercerita.

Bermula dari kesalahan
Orang-orang yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, meyakini kalau Kujano memang sebuah perkampungan, tempat nenek moyang mereka pernah hidup di sana, sekitar 400 tahun silam. Waktu yang lama memang. Bahkan keturunan warga asli Kujano banyak yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang tersebut. Datuk Pucuk Desa Aur Kuning, Husen, adalah salah satu keturunan warga asli Kujano. Ia mengaku sebagai generasi ke tujuh. Artinya, peristiwa Kujano terjadi sekitar 400 tahun silam.

Kujano bukan kampung biasa. Hampir tidak ada masyarakat di sepanjang Sungai Subayang yang tidak tahu dengan Kujano. Bagi mereka, Kujano adalah luka lama. Kisah tragis yang menimpa nenek moyang mereka. Tak heran, setiap kali Kujano disebut, kebanyakan mereka langsung terperangah. Seolah ada sesuatu ada sebuah peristiwa menakutkan dan tidak pantas untuk disebutkan. Tidak hanya orang tua, para pemuda juga tahu dengan kisah itu.

Husen, menyebutkan dengan jelas,  bahwa Kujano adalah kampung tempat datuknya pernah tinggal dan hidup di sana bersama masyarakat lainnya. Memang, sebelumnya bermula dari peladangan. Artinya, rumah-rumah di sana awalnya merupakan rumah ladang yang kemudian semakin banyak dan menjadi perkampungan. Ketika itu, kondisi hutan masih sangat alami. Masih banyak harimau dan binatang buas lainnya.

Suatu ketika, seorang anak muda iseng menangkap anak harimau, lalu memangganggnya. Sejak itu, Kujano sering didatangi harimau yang diduga merupakan induk dari anak harimau tersebut. Semakin sering saja harimau datang ke sana.

Teror harimau terus terjadi siang dan malam. Harimau datang dengan meninggalkan tanda-tanda, seperti jejak, kotoran, suara aum atau pernah juga menampakkan diri secara langsung. Masyarakat tidak lagi merasa aman dan nyaman. Pergi ke rimba mereka takut, ke ladang tidak berani. Keluar rumah juga merasa terancam. Harimau datang benar-benar dekat. Jejaknya semakin banyak, di mana-mana.

Suara aumnya semakin sering terdengar, menakutkan. Tak tahan dengan ancaman dan teror harimau yang terus menerus itu, seluruh masyarakat kampung bersepakat memilih pergi dan pindah ke tempat lain. Sungguh Kujano menjadi kisah menakutkan dan tak terlupakan. Hanya karena kesalahan seseorang, mereka semua harus menanggung akibatnya.

Pindah ke Subayang dan Sumbar
Sungai Subayang merupakan jalur terdekat yang bisa ditempuh dari Sungai Kujano. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat yang tinggal di Kujano ketika itu memilih pindah ke tempat ini. Keturunan mereka juga lebih banyak ditemukan di kawasan ini dibandingkan di kawasan lain. Tapi, bukan berarti di tempat lain tidak ada.

Sebagian masyarakat Kujano ada juga yang memilih mengungsi ke dareah Sijunjung, Sumbar dan sekitarnya.Termasuk di Desa Mangganti dan Sumpur Kudus.

Pindahnya masyarakat Kujano ke kawasan pinggiran Sungai Subayang, seperti Desa Aur Kuning dan beberapa desa sekitarnya seperti Tanjung Beringin, juga melalui jalur anak-anak sungai kecil. Salah satunya Sungai Biawik.
Sungai ini persis berada di tengah Desa Aur Kuning, bermuara ke Sungai Subayang. Jalur ke Aur Kuning melalui Sungai ini lebih dekat dibandingkan jalur lain. Sungainya bersih. Banyak bebatuan besar. Jalur darat melewati bukit di sepanjang tepian sungai ini masih menjadi jalur alternatif menuju

Kujano hingga saat ini. Tembus juga ke beberapa desa di daerah Kuansing.  
Kujano dulu tidak seperti Kujano saat ini. Dulu, Kujano memang mengerikan. Setelah terjadinya peristiwa Kujano, orang-orang tidak berani datang ke sana. Jangankan untuk menjejakkan kaki ke Kujano, mendengarkan ceritanya saja mereka takut. Seperti tabu. Tidak boleh diceritakan. Tapi sekarang sudah lain. Masyarakat sudah banyak yang datang ke sana untuk mencari ikan, kayu secukupnya. Bahkan mereka bermalam di sana.

Jarak tempuh ke Kujano dari Desa Aur Kuning memang cukup jauh. Tidak bisa ditempuh hanya dalam waktu dua atau tiga jam. Melewati hutan dan puluhan bukit. Naik turun. Bagi masyarakat yang sudah biasa, setidaknya memerlukan waktu 12 jam, atau seharian penuh. Ada juga yang lebih. Ada juga yang bermalam di jalan dan keesokan harinya baru sampai di sana. Tergantung beban yang dibawa. Semakin banyak beban, semakin lama berjalan, maka semakin lama sampainya. Apalagi yang belum terbiasa, tentu memerlukan waktu yang lebih lama.

Ada juga yang menyebutkan keturunan masyarakat Kujano banyak yang tinggal di Desa Pangkalan Indarung, desa di hulu Sungai Singingi yang sama-sama bermuara ke Sungai Kampar Kiri seperti Sungai Subayang. Sama juga seperti desa-desa di Sungai Subayang, Mangganti dan Sumpur Kudus, desa ini juga berbatasan langsung dengan Sumbar. Hanya dipisahkan oleh Bukit Barisan. Tapi setelah dijajaki, masyarakat Pangkalan Indarung mengaku bukan merupakan keturunan masyarakat Kujano.

Di Pangkalan Indarung tidak ada keturunan masyarakat Kujano. Kebanyakan mereka lari ke Subayang, Mangganti dan Sumpur Kudus. Demikian Datuk Bandaro Desa Pangkalan Indarung, Sugiro menjelaskan. Setahu Datuk Bandaro dan masyarakat Pangkalan Indarung, Kujano adalah nama sungai atau nama hutan, bukan nama kampung. Tapi sebagian lagi, memang pernah mendengar cerita tentang Kujano dan masyarakatnya. Seperti yang sering diceritakan masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang.

Sugiro merupakan salah satu warga yang percaya dengan kisah Kujano. Tapi ia lebih meyakini kalau Kujano sebagai salah satu perkampungan yang muncul atau dimulai  dengan kawasan ladang. Bahkan Sugiro mengku mendengar sendiri tentang Kujano dari seorang warga yang dipercayai sakti dari Desa Ampalu, Sumbar. Orang ini bernama Solam yang diberi gelar dengan Sutan Batuah. Waktu itu, Sugiro masih kecil. Ia mendengar Solam bercerita dengan orangtuanya.

Ayah Sugiro dan datuk-datuknya memang asli dari Pangkalan Indarung. Di desa inilah mereka semua dilahirkan dan dibesarkan. Tak heran, jika tidak ada kejadian yang tidak luput dari pengetahuannya, termasuk cerita Kujano tersebut. Seperti yang didengarnya dari Solam yang datang berinduk kepada orangtuanya ketika itu, bahwa ia melihat sebuah takagh (kendi) besar di Kujano. Untuk bisa melihat apa isi takagh tersebut, ia harus naik dua jenjang. Begitulah besarnya takagh tersebut.

‘’Solam datang berinduk ke orangtua saya. Waktu itu saya masih kecil. Makanya sedikit banyak saya tahu tentang Kujano itu. Solam mengatakan kalau ia juga melihat takagh besar di sana. Ada juga kebun kopi dan durian. Itu juga sebagai bukti kalau di Kujano pernah ada kehidupan di sana. Sekarang pun banyak orang ke Kujano, tapi yang tidur di sana sangat jarang. Tidak nyaman. Seperti ada yang mau melempar dan sebagainya,’’ sebut Sugiro.

Tentang keberadaan kebun kopi dan durian di Kujano juga disebutkan Sugiro, Husen dan beberapa warga desa yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, seperti warga Desa Tanjung Beringin dan Pangkalan Serai  yang sampai saat ini masih bolak balek ke Kujano untuk  mencari ikan. Jarak dari Kujano ke Pangkalan Indarung memang jauh, tapi cukup dekat dari Subayang, terutama dari Desa Aur Kuning.(kun)


Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook