SENGGANG MARHALIM ZAINI

Narsisme

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:09 WIB

ISTILAH narsis, hari ini, telah jadi milik semua orang. Media sosial, adalah salah satu biang keroknya. Berbagai fasilitas teknologi, membuat tiap orang bisa dengan mudah mengeskpose dirinya, sedemikian rupa. Lasch (1979) bilang, bahwa zaman modern inilah yang memiliki peran dalam membentuk “masyarakat narsistik.”

Dan rupanya, sejak lama pula, dalam ilmu psikologi, istilah narcisism kemudian menjadi salah satu konsep cukup tenar. Kita tahu, sebelum muncul nama Sigmund Freud (terkhusus dalam On Narcissism: An Introduction, 1914), ada nama Paul Nacke (1899), seorang tokoh psikiater Jerman yang telah lebih dulu “menemukan” konsep ini.


Awalnya memang berkutat di sekitar persoalan seksualitas; seseorang bangkit hasrat seksualitasnya setelah ia membelai tubuhnya, dan tumbuhlah rasa cinta (self love) yang berlebihan. Namun perkembangan berikutnya, dalam konsep Freud, narsisisme lebih mengarah pada self perseveration. Dan, melindungi diri sendiri ini, bukankah ada pada setiap makhluk hidup?

Narkissos, demikian nama tokoh mitos Yunani Kuno itu, yang juga kerap kita dengar dalam bahasa Latin sebagai Narcissus. Saya kira, hampir semua orang tahu kisah ini. Seorang pemuda tampan, bernama Narkissos, yang jatuh cinta dengan bayangannya sendiri di dalam kolam. Sampai akhirnya ia jatuh ke dalam kolam itu, tenggelam. Lalu tumbuh bunga. Bunga itulah yang kelak disebut narsis.

Lebih jauh, menurut Lowen, psikotrapis dari Amerika, dalam bukunya Narcissism: Denial of the True Self (1984), menyebut ada dua tingkat narsisme: tingkat individual dan tingkat budaya. Narsisme di tingkat individu telah berpengaruh pada bagaimana prilaku budaya yang tidak lagi memberi perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan (loss of human values).










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook