TRADISI TOLAK BALA

Menyanggai Sitawar

Seni Budaya | Minggu, 05 April 2020 - 13:56 WIB

Menyanggai Sitawar
Masyarakat Desa Sungai Liti dan Padang Sawah (Kenegerian Padang Sawah), Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar melaksanakan tradisi tolak bala, Jumat (3/4/2020). Tradisi ini ditandai dengan berkeliling kampung sambil bertahlil dan menyanggai Sitawar Nan Ompek di sepanjang jalan .

Obat yang dipercaya mampu mengusir atau menolak segala penya­kit itu disanggai (dilempar) ke kanan dan kiri jalan sepanjang kampung. Sementara tahlil dan zikir merudum, bergemuruh hingga langit tinggi mengiringi prosesi adat tersebut.

(RIAUPOS.CO) -- Tradisi tolak bala, banyak dilakukan masyarakat adat di Riau, dengan cara yang berbeda-beda. Salah satunya di wilayah Gunung Sahilan Rantau Kampar Kiri. Akhir pekan ini, tradisi tolak bala dilakukan masyarakat Kenegerian Padang Sawah. Kenegerian ini terdiri dari dua desa, yakni Desa Padang Sawah dan Desa Sungai Liti. Ratusan masyarakat, terutama kaum bapak, beramai-ramai mengikuti prosesi adat tersebut setelah selesai Salat Jumat yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal Desa Padang Sawah, Jumat (3/4).


Tolak Bala, juga tradisi yang dilaksanakan dengan ritual keagamaan yang sangat sakral. Masyarakat Rantau Kampar Kiri, sejak zaman nenek moyang atau sejak ratusan tahun silam, telah melaksanakan  tradisi ini. Mereka mempercayai tradisi tersebut mampu mengusir atau menolak penyakit yang tidak biasa terjadi dari kampung mereka. Untuk melaksanakan ritual ini, juga diperlukan waktu yang panjang, direncanakan terlebih dahulu, ada syarat-syarat dan tidak tiba-tiba begitu saja

Darnius, adalah Datuk Pucuk atau datuk tertinggi di Kenegerian Padang Sawah. Dialah yang menjelaskan perihal mengapa tradisi Tolak Bala itu harus dilakukan. Tradisi ini, katanya, dilakukan semata karena Allah, berharap dan memohon pertolongan hanya kepada Allah, sebagai salah satu upaya atau ikhtiar agar terhindar dari penyakit berbahaya bahkan mematikan. Informasi tentang wabah corona atau dikenal juga dengan Covid-19 yang melanda seluruh negara, Indonesia, Riau bahkan sudah masuk ke kabupaten dan kota di Riau saat ini, juga sudah didengar masyarakat Kenegerian Padang Sawah.

‘’Corona yang melanda saat ini, bukan penyakit biasa. Tradisi tolak bala dilakukan kalau ada penyakit yang tidak biasa, yang berbahaya, menular dengan cepat, bahkan mematikan seperti corona ini. Corona memang belum masuk di kampung kami. Karena itu kami mengusir atau menolak dari sekarang agar tidak masuk. Tentu dengan doa dan permohonan semata hanya kepada Allah. Kalau ada obat yang kami sanggai (tabur, red), ke jalan-jalan, ke halaman rumah dan dalam rumah, itu hanya perantara. Dan itu obat yang sudah didoakan oleh orang sekampung ini juga,’’ ujar Datuk Darnius.

Di Kenegerian Padang Sawah, kata Datuk Darnius, tradisi tolak bala  terakhir dilakukan sekitar 10 tahun lalu, ketika di kampung ini (waktu itu masih satu desa), banyak orang meninggal dengan tidak wajar. Dalam satu atau dua hari, orang meninggal sampai tiga atau empat. Melihat kondisi tersebut, tokoh masyarakat, ninik mamak, pemerintah desa, imam atau tokoh agama berembuk untuk melaksanakan tradisi tolak bala.

Tolak bala diawali dengan doa qunut yang dilakukan tiga kali berturut-turut saat Salat Jumat dilaksanakan atau tiga kali Jumat. Hal ini sudah diumumkan sebelumnya oleh Datuk Pucuk kepada jamaah yang hadir. Pada Jumat ketiga, atau pada Salat Jumat ketiga dilaksanakan salat sunat Tolak Bala setelah Salat Jumat yang diawali dengan iqomat. Sedangkan surat yang dibaca dalam salat sunat Tolak Bala yakni ayat kursi. Selesai salat, imam langsung istigfar dan bertahlil tiga kali. Tahlil ke empat imam berdiri sambil terus bertahlil dengan diikuti oleh seluruh jamaah dan keluar masjid.

Imam salat Jumat dan Tolak Bala ini bergelar Imam Sutan yakni Malin dalam suku Domo. Sedangkan bilalnya Bilal Kojan suku Pitopang. Tidak boleh diganti kecuali berwakil atas nama imam dan bilal tersebut. Begitulah adat mengaturnya. Begitu pula jika Idul Fitri. Berbeda dengan salat Idul Adha. Imamnya harus Imam Kayo Suku Piliang dan bilalnya Melayu suku Melayu. Juga tidak boleh diganti kecuali berwakil atas nama imam dan bilal tersebut. Adat mengatakan, tompek ndak boliah ambiok maambiok, boke ndak buliah uni mauni.

Di pintu keluar masjid, dukun kampung yang menjadi bagian penting dalam tradisi ini (selain pemerintah desa, tokoh adat atau datuk ninik mamak dan tokoh agama), sudah memegang gayung untuk menuangkan obat penawar yang telah didoakan bersama tadi kepada setiap jamaah. Obat ini disebut Sitawar nan Ompek. Bukan obat biasa, bukan juga obat dokter. Tapi, racikan daun-daun obat yang dibawa oleh seluruh jamaah ke masjid siang itu. Kekompakan membawa Sitawar nan Ompek ini setelah Datuk Pucuk mengumumkan pada Jumat sebelumnya. Daun tersebut yakni, daun sidingin, daun sitawar, daunkumpai dan daun cikurou. Di masjid, daun ini dijadikan satu dan dimasukkan dalam bak besar, terus dicampur dengan air oleh dukun yang bertugas. Ramuan inilah yang dibagikan kembali kepada seluruh jamaah saat keluar masjid sambil bertahlil.

Tolak bala dilaksanakan secara adat. Maka unsur yang datang juga harus memenuhi ketentuan adat seperti berpakaian adat sesuai dengan jabatannya masing-masing. Ninik mamak memakai pakaian ninik mamak yakni berwarna hitam, Dubalng memakai pakaian Dubalang yakni hitam merah dan Imam atau Malin memakai pakaian imam yakni putih. Sejak awal, prosesi ini dipimpin oleh Imam dan penanggung jawab Ongku Kali atau pencatat. Ongku Kali di Kenegerian Padang Sawah bernama Koli Antau.

Prosesi dimulai. Seluruh jamaah turun ke jalan. Seharusnya dipimpin oleh Dubalang atau Dubalang di posisi paling depan, kemudian diikukti oleh para tokoh dan masyarakat. Semua orang menyanggai (melempar) Sitawar nan Ompek ke kanan dan kiri jalan, sampai ke jalan-jalan kecil dalam kampung, terus, hingga jalan paling luar di kampung tersebut sambil bertahlil tiada henti. Begitu selesai, mereka kembali ke titik awal yakni ke masjid dengan membawa ramuan Sitawar nan Ompek yang masih tersisa di tangan masing-masing.

Sesampainya di masjid, sisa ramuan Sitawar nan Ompek dikumpulkan kembali dan di sinilah doa Tolak Bala dilaksanakan yang dipimpin oleh imam. Selesai berdoa, dukum mencelupkan kain warna kuning yang sudah disediakan pemerintah desa setempat. Kain ini disobek kecil-kecil dan dibagikan kepada seluruh masyarakat untuk dibawa pulang bersama sisa ramuan Sitawar nan Ompek.

Sesampainya di rumah, ramuan tersebut disanggaikan ke halaman, samping, kanan, kiri, belakang dan bagian dalam rumah. Sedangkan kain kuning diikatkan di bagian atas pintu depan rumah dengan harapan, penyakit yang sedang merisaukan masyarakat tersebut tidak masuk ke dalam rumah, tidak menyerang penghuni rumah dan penghuni seluruh kampung.


‘’Sekali lagi, prosesi Tolak Bala ini hanya bagian dari ikhtiar kami yang sudah dilakukan nenek moyang kami sejak dulu. Selebihnya kami berserah diri kepada Allah. Tolak Bala ini tradisi paling pucuk. Kalau ada bala, penyakit yang tak biasa, ke tradisi inilah kembalinya.  Sebagaiman yang sudah-sudah, alhamdulilaah, apa yang kita doakan melalui prosesi ini diijabah oleh Allah. Kami juga berniat sama agar corona tidak masuk ke kampung kami ini,’’ ujar Datuk Darnius lagi.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook