Galeri Hang Nadim (GHN) menaja pameran lukisan kaligrafi kontemporer yang diikuti 15 seniman dan 22 karya. Sebuah azam menumbuhkan seni islami dalam masyarakat Riau yang sudah sejak lama menggunakan aksara Arab Melayu.
RIAUPOS.CO - SENI kaligrafi merupakan bagian dari seni rupa islami yang membutuhkan ketekunan tersendiri. Seni ini menjadikan aksara Arab sebagai objeknya di media kanvas. Kemahiran para perupanya didasari pada kemampuan mereka memaknai huruf Arab, terutama ayat-ayat dalam kitab suci Al-qur’an dan Hadist. Bukan hanya memahami bagaimana membacanya, tetapi juga maknanya. Biasanya, kedalaman memahami makna tersebut yang kemudian dituangkan dalam karya seni kaligrafi ini.
Sebenarnya, medium yang digunakan bukan hanya kanvas. Para seniman kaligrafi banyak yang secara ekonomi bisa hidup dari seni rupa ini karena keahlian mereka banyak dihargai tinggi. Misalnya membuat kaligrafi di masjid dan di dalam gedung-gedung lainnya yang bernuansa islami.
Di Riau sendiri, seni kaligrafi ini terus berkembang. Banyak seniman yang tunak dan terus berkarya. Setiap waktu selalu lahir karya baru, baik sebagai seni (lukisan) maupun sebagai bagian dari kegiatan ekonomi. Karya seninya terus diburu kolektor, dan bidang ekonominya terus mendapatkan ruang dan tempat di masyarakat.
Pelukis kaligrafi dari Sungai Apit, Siak, Nuraini, foto di depan lukisannya saat pembukaan Pameran Kaligrafi Kontemporer Riau dengan tema “Waw” di Anjungan Kampar Kompleks Bandar Serai Purna MTQ Pekanbaru, Ahad (27/2/2023).(HARY B KORIUN/RIAU POS)
Oleh karena itu, mengawali tahun 2023, Galeri Hang Nadim (GHN) menyelenggarakan Pameran Kaligrafi Kontenporer Riau dengan tema “Waw” (yang ditandakan dengan huruf wawu dalam aksara Arab yang berarti “dan”) yang berlangsung selama 22 hari, 25 Februari hingga 18 Maret 2023. Kegiatan ini dilansungkan di GHN, Anjungan Kampar Lt 2 komplek Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) Purna MTQ, Pekanbaru.
Pameran ini dibuka oleh Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kota Pekanbaru, Dr H Idrus SAg MAg, Ahad (26/2/2023). Idrus mengaku senang dan bangga dengan apa yang dilakukan oleh GHN. Menurutnya, dengan terus menyemarakkan seni kaligrafi ini, maka Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad akan terus dibaca dan diingat oleh umatnya.
Menurutnya, seni kaligrafi kontenporer harus bisa menjawab kondisi kekinian masyarakat yang terus berkembang. Masyarakat yang semakin islami juga harus diimbangi dengan seni-seni islami agar Al-Qur’an dan Hadist terus dibaca dan digaungkan dalam masyarakat.
“Saya yakin, orang yang akan menulis pasti akan membaca lebih dulu. Jika dia menulis tentang ayat Al-Qur’an dan Hadist, pasti akan membaca lebih dulu dua kitab tersebut. Dengan begitu, Al-Qur’an dan Hadist akan terus dibaca oleh penulis atau pelukis kaligrafinya, juga oleh penikmat seni tersebut. Saya berharap seni islami seperti ini terus digaungkan,” jelas Idrus.
Selain itu Idrus juga berharap penggunaan aksara Arab Melayu (Jawi) juga terus disosialiasikan kepada masyarakat dengan berbagai cara. Salah satunya dengan membuat nama jalan, bangunan, gedung-gedung pemerintah dan lainnya dengan menggunakan aksara Arab Melayu di samping aksara Latin. Dan untuk tulisan-tulisan tersebut, harus dibuat oleh mereka yang ahli di bidangnya. Yakni para seniman kaligrafi.
“Selama ini hal itu sudah dilakukan, tetapi aksara Arab Melayu-nya dibuat kurang menarik. Jika dibuat dengan seni kaligrafi, pasti akan lebih bagus dan indah dilihat oleh masyarakat,” jelas Idrus.
Idrus berharap seni kaligrafi di Riau terus ditingkatkan mutunya dan selalu dibuat iven pamerannya. Dengan begitu akan membuka ruang-ruang lain yang selama ini belum terlihat agar seni kaligrafi terus dicintai masyarakat sebagaimana masyarakat terus mencintai dan membaca Al-Qur’an dan Hadist.
Kepala GHN, Furqon LW, menjelaskan, pameran kaligrafi sudah diazamkan oleh GHN akan menjadi jadwal tahunan. Untuk awal tahun ini, tema yang diangkat adalah kaligrafi huruf jawi, atau Arab Melayu. Alasannya, bahasa Melayu sejak dulu sudah menjadi lingua franca dalam pergaulan masyarakat di Asia Tenggara. Dan salah satu provinsi yang mewarisi aksara Arab Melayu tersebut adalah Riau.
Dalam pameran kali ini, jelas kartunis Riau ini, memang tidak semua seniman kaligrafi yang ikut pameran menggunakan Arab Melayu. Banyak dari mereka yang masih memakai gaya kaligrafi konvensional, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Menurutnya hal itu tak masalah karena dasar dari seni kaligrafi memang begitu. Dia berharap perkembangan kedua gaya ini akan terus terjadi sehingga seni kaligrafi bisa terus berkembang. Tidak hanya yang konvensional tetapi juga kontenporer seperti Arab Melayu ini.
“Harapan kami, aksara Arab Melayu ini akan terus dipelajari dan digali oleh masyarakat Riau, salah satunya lewat kaligrafi. Namun, kami tidak kaku dengan tema tersebut dalam pameran ini karena selama ini kaligrafi kan identik dengan Al-Qur’an dan Hadist,” jelas Furqon.
Furqon juga menjelaskan mengapa pameran kali ini mengambil tema “Waw” dengan huruf wawu. Huruf wawu, katanya, dalam bahasa Arab yang berarti “dan”, yang berfungsi sebagai kata sambung/pemersatu dalam sebuah kalimat. Waw dalam pengucapan bahasa Indonesia juga bermakna “luar biasa”, “spektakuler”, dan “hebat”. Bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu pernah jadi lingua franca di kawasan Asia Tenggara, menurutnya, adalah sesuatu yang waw!
“Fungsi dan makna positif inilah yang diharapkan muncul dalam bentuk visual hasil eksplorasi para perupa pada pameran ini. Dengan melihat pameran, audiens mungkin saja nanti memiliki pemaknaan sendiri. Kami juga akan menyelenggarakan diskusi seni bertajuk ‘Kaligrafi Arab Melayu dalam Khasanah Seni Rupa’ yang akan kami taja pada 11 Maret 2023,” jelas lelaki yang juga Ketua Lumbung Pangan Seniman (Lumpang), kini kerja dari Asosiasi Seniman Riau (Aseri) ini.
Pada bagian lain, salah seorang kurator pameran ini, Muhammad Rafles, menguatkan penjelasan Furqon secara lebih detil tentang konsep “Wawu“ tersebut. Huruf wawu sebagai objek dalam pengkaryaan dengan varian ala senimannya dan pemaknaan ayat yang terhubung dengan objek karya sehingga seniman yang ikut dalam pameran ini dapat membuat karya kaligrafi yang berkaidah dan kaligrafi yang kontemporer. Beberapa kriteria yang dibuat dalam kuratorial pameran ini, katanya, adalah imla’iah (penulisan kata dan sambungan huruf yang baik dan benar); ide karya (alasan dalam berkarya); pewarnaan dan back ground yang mewakili dari tipologi huruf dalam pengkaryaan yang unik dan menarik.
Lelaki kelahiran Kampar yang juga Ketua Perkumpulan Kaligrafi dan Zukhrufah Indonesia (Perkazi) Provinsi Riau ini menjelaskan, saat ini perkembangan kaligrafi di Riau sangat pesat yang didukung oleh kuatnya minat dan bakat secara historis Riau sebagai negri Melayu yang bersendikan sara’ dan kitabullah.
“Lima tahun belakang ini, banyak anak Riau menjadi santri diklat terbanyak yang belajar di Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) di Sukabumi, Jawa Barat. Mereka banyak yang telah berhasil mengikuti berbagai iven dan mencapai prosesnya menjuarai iven MTQ nasional bahkan internasional,” katanya.
Menurutnya, mereka adalah potensi besar yang dimiliki Riau dalam mengembangkan seni kaligrafi tersebut. Dijelaskan Rafles, di dalam kitab Nashoih al Khattatin yang dikarang oleh Dr Didin Sirajuddin ada bab tentang “Ahdaf wa Tadris Lil Khat”, yaitu tentang tujuan belajar kaligrafi. Di sana diterangkan diantaranya, kaligrafi itu sebagai ilmu; kaligrafi sebagai seni; kaligrafi sebagai filsafat; dan kaligrafi bagian dari produk kemajuan.
“Artinya menjadi penghasilan ekonomi dalam produk karya dan jasa pembuatan kaligrafi di masjid ,rumah kantor dan keperluan lainnya. Dikuatkan juga oleh perkataan Sayyidina Ali RA yang berarti ‘Hendaklah kamu membaguskan tulisan karena tulisan yang bagus itu membukakan pintu rezeki,” urai alumni Pondok Pesantren Al-Munawwarah Pekanbaru dan Lemka Sukabumi ini.
Lelaki yang juga sering menjadi juri lomba kaligrafi maupun MTQ tingkat Riau maupun nasional ini menjelaskan lagi, dengan berlandaskan tulisan yang bagus seniman kaligrafi juga mendapatkan penghasilan dari mengikuti iven dari perlombaan kaligrafi. “Kaligrafi adalah harta simpanan bagi si fakir dan aksesoris bagi sang pangeran,” ujarnya berfilosofi.
Pameran ini diikuti 22 karya yang dihasilkan oleh 15 kaligrafer lewat kurasi yang dilakukan oleh Fachrozi Amri dan Muhammad Rafles. Para seniman kaligrafi yang ambil bagian dalam pameran ini adalah Alza Adrizon, Ari Iziana, Armen Titof, Bens, Sani, Fitri Sun, Hasanah, Herman Pelani, Khalil Zuhdy Lawnarain, Kodri Johan, Muhammad Khoiruli, Nuranini, Nur Rahmah, Tengku Eko, Topan Jihadullah, Aswatun Alifah, dan Yelmi Nanda Resfi.
Salah seorang kaligrafer yang datang dari Tanjung Kuras, Sungai Apit, Siak, Nuranini, mengaku bahagia dan senang bisa ambil bagian dalam pameran kali ini. Menurutnya, pameran ini akan memacu para seniman kaligrafi untuk terus berkarya.
Salah satu karya Nuraini yang dipamerkan berjudul “Karunia Tuhanku” tergolong unik. Dengan latar belakang merah menyala dan kehitaman, ada lukisan seperti aksara Kanji Cina berwarna emas dan di bawahnya aksara Arab Melayu berwarna putih. Tulisan berbunyi hadza min fadhli rabbi yang merupakan ucapan Nabi Sulaiman AS yang artinya “Ini adalah karunia dari Tuhanku”. Ungkapan ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat An Naml Ayat 40.
Menurut Nuraini, karya itu dibuatnya bertepatan dengan Tahun Baru Imlek yang dirayakan orang Tionghoa di saat pandemi corona menyerang dan mengharuskan orang harus berada dalam rumah. Di tengah kebosanan itu, muncul ide dari Nuraini untuk membuat lukisan kaligrafi dengan tema Imlek. Tulisan yang mirik aksara Kanji Cina itu sebenarnya aksara Arab tetapi dia buat mirip dengan aksara Kanji Cina.
Nuraini mengaku tak punya pretensi apa-apa ketika membuat karya itu. Yang ada dalam pikirannya ketika itu adalah membuat seni kaligrafi yang momennya bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Menurutnya, tak ada masalah dengan tulisan Arab mirip Kanji tersebut. Baginya seni itu universal dan bisa menggunakan medium apa saja, ide apa saja, dan bisa dinikmati oleh siapa saja. “Ide ini keluar begitu saja dari pikiran saya. Saya ingin karya saya bisa dinikmati oleh siapa saja dengan latar apa saja,” jelas alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang memilih mengabdi di kampung halamannya tersebut.
Tentang pameran yang dilakukan oleh GHN, Nuraini mengaku senang ada ruang pameran seperti itu di Riau yang tentu akan membuat para seniman rupa bergairah untuk berkarya. “Saya sangat senang karya saya lolos kurasi dan bisa ikut dalam pameran ini. Hal ini, selain akan memacu para seniman kaligrafi Riau untuk terus berkarya, juga seniman dari kampung saya di Tanjung Kuras, Siak,” jelasnya.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru