Untuk kesekiankalinya Galeri Hang Nadim (GHN) menyelenggarakan pameran seni. Karya-karya yang ditampilkan akan mendorong masyarakat berpikir dalam menafsirkan karya yang merupakan reaksi dari kehidupan sehari-hari tersebut.
RIAUPOS.CO - DENGAN penuh senyum, Furqon LW mendampingi tiga tokoh masyarakat Riau, budayawan drh Chaidir, praktisi public relations Ian Mahyar dan tokoh muda Ridho Ikhsan, berkeliling melihat-lihat lukisan yang menempel di dinding ruangan Galeri Hang Nadim (GHN), Sabtu (3/6/2023). Ketua GHN ini memberi penjelasan tentang para perupa atau seniman yang lukisannya sedang mereka lihat. ChaIdir, Ian, dan Ikhsan juga terlihat bicara. Sekali-kali mereka terlihat tertawa dan sesekali serius ketika melihat sebuah lukisan di depan mereka.
Tidak hanya Furqon, beberapa pendiri dan pengurus GHN seperti Benny Riaw, Bens Sani, Fahrozi Amri, dan yang lainnya, juga hadir. Malam itu GHN sedang melakukan pembukaan pameran seni bertajuk Re-ART-si. Ini pameran seni yang kedua tahun ini yang dilakukan satu-satunya galeri seni resmi di Riau itu setelah pameran kaligrafi kontemporer WAW pada Februari-Maret 2023 lalu. Selain performance art oleh penari Aamesa Aryana di halaman galeri, pembukaan juga ditandai dengan menorehkan cat ke kanvas sebagai tanda pameran resmi dibuka. Masyarakat bisa datang ke galeri pada 4-24 Juni 2023, selama 20 hari.
Mewakili pengurus GHN, Furqon mengaku bahagia galeri yang mereka rawat masih bisa eksis melakukan pameran seni yang memang sangat jarang dilakukan di Pekanbaru, juga Riau. Menurutnya, membukan ruang-ruang seni seperti ini sepertinya mudah, namun memerlukan energi yang berlebih, ketekunan, dan kesungguhan karena kerja-kerja seni seperti ini jauh dari nilai prakmatis. Misalnya keuntungan secara materi.
Seperti yang dikatakannya sebelum-sebelumnya dalam berbagai pameran yang dilakukan GHN, hingga saat ini kesadaran seni masyarakat Pekanbaru dan Riau terus tumbuh, meski belum sebesar di daerah lain, terutama di berbagai kota di Jawa seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, atau Surabaya. Ini terlihat dari jumlah mereka yang datang berkunjung maupun berapa jumlah karya yang dibeli oleh masyarakat maupun kolektor.
“Namun hal itu tak membuat kami di GHN berhenti untuk melakukan pameran dan kerja seni lainnya,” ujar lelaki yang dikenal sebagai kartunis ini.
Khusus untuk pameran ini, Furqon menjelaskan, Re-ART-si bisa dibaca sebagai reaksi atau respon GHN terhadap fenomena yang terjadi pada kehidupan berkesenian di Riau. Menurut catatan GHN, ada tiga hal penting yang direspon itu. Pertama, GHN melihat potensi-potensi perupa muda yang terus bermunculan setiap pameran yang ditaja GHN. Kedua, reaksi masyarakat sebagai spektator-apresiator setiap kali GHN menaja pameran. Dan ketiga, gabungan kedua fenomena tersebut maupun peristiwa-peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan berkesenian, mesti direspon terus-menerus untuk membangun ekosistem seni rupa yang lebih baik.
Membangun ekosistem seni (rupa) ini, kata Furqon, memerlukan sinergitas dan kerja bersama dari berbagai orang. Sebagai tempat atau lembaga yang memberikan ruang dan apresiasi, GHN selalu berkomunikasi dengan para seniman, baik itu perupa (pelukis), fotografer, kartunis, sketsais, seniman instalasi, dll, agar terus berkarya. Mereka juga membuka ruang-ruang dialog dan diskusi, baik secara resmi maupun ala kedai kopi. Dari komunikasi dan diskusi itulah kemudian selalu tumbuh ide segar untuk melakukan sesuatu yang muaranya adalah pameran seperti ini.
“Kerja-kerja bersama ini harus selalu dibangun agar ekosistem seni itu terus tumbuh dan tak mati,” jelas lelaki kelahiran Pekanbaru itu.
Pameran kali ini menampilkan karya 13 seniman. Mereka adalah Gusmarian aka Acong, Akil KM07, Alza Adrizon, Cak Winda, Fitri Yohanes, Ibnu Mubarak, Jati Wahyono, Jefri Rahmat, Kodri Johan, Muhammad Raditya Perdana, Rads, Yelmi Nanda Resfi, dan fotografer asal Afghanistan yang kini sedang mengungsi di Pekanbaru, Mohammad Hassan Nazari Ati. Mereka adalah gabungan para seniman lama dan muda yang terus eksis di bidangnya. Hampir 90 persen karya yang dipamerkan beraliran surealis sehingga membutuhkan pengetahuan yang mendalam untuk memahaminya. Hal itu juga membuat multitafsir setiap orang yang berusaha masuk di dalamnya.
Dalam catatan kuratorialnya, Fachrozi Amri menjelaskan tentang sebuah pemahaman “Menyalin Reaksi Selaras dalam Wujud”. Menurutnya, dalam untaian elemen-elemen visual, ada pertengkaran tentang reaksi dari gejolak rasa, dianulir menjadi buah bibir publik untuk percaya bahwa segala penciptaan seni selalu memiliki proses berpikir yang mendalam tentang apa itu “menyalin reaksi”. Bukan menyalin alam, melainkan sebagai satu alasan kenapa karya seni selalu dipandang penting bagi kehidupan, yang akan saling memiliki kaitan antara pelaku dengan alam kehidupan di sekitarnya.
Re-ART-si, jelas Fachrozi dapat dikatakan sebagai reaksi akal menuju penciptaan seni dalam merasakan dan mendalami sebuah gejala tentang hidup, seperti imajinasi, khayalan, dan harapan yang dirangkum. Demikian tahapan reaksi yang menangkap segala gejala-gejala yang menjadi gejala psikologis dalam sebuah gerakan atau aksi. Aksi tersalurkan melalui tangkapan-tangkapan nyata berupa tangkapan indrawi terhadap “suatu”.
Muatan pada reaksi pada penciptaan seni, menurutnya, tidak terikat pada besar atau kecilnya ungkapan tersebut. Bisa berupa ekspresi diri yang berdenyut, akan memiliki persoalan reaksi yang terjalin dengan satu kesatuan daya ungkap dan daya pesonanya. Ungkapan yang diamati lalu diresapi sebagai nilai kehidupan hingga sampai pada pengungkapan diri dan tidak sempat digali lebih mendalam tentang arti kehidupan dalam mencapai harapan sebenarnya.
“Seniman harus memiliki kemampuan dalam me-reartsi-kan gejala estetik menjadi harapan atau khayalan baru di ruang-ruang dialektika seni yang memiliki hubungan emosional dengan pencinta seninya dan membongkar kebermaknaan tentang arti indah yang terestetikakan,” ungkap alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Ditambahkannya, pada pameran kali ini menjadi kesempatan bagi 13 seniman/perupa untuk dapat menuangkan keinginan atau ungkapannya yang pernah ia alami dan rasakan --baik langsung ataupun tidak—sehingga munculah rasa kesan akan kebermaknaan ke dalam sebuah reprentasasi karya seni.
Menurutnya, ini merupakan sikap reaktif seniman dalam melihat suatu masalah/gejala di sekitarnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah seniman paham dengan reaksi hidup dari masalah/gejala yang dia alami sehingga menjadikannya rujukan dalam berkarya?
“Dengan karya seni yang diciptakannya, seniman adalah orang yang paling tepat memberikan wujud bentuk multitafsir dalam melihat nilai kehidupan yang ada,” jelasnya lagi.
Di bagian lain, dalam catatan kritis pameran, penulis Zainul Dzakwan Arabi berusaha memberi penafsiran atas semua karya yang dipamerkan dengan tajuk “Menyelami Rasa Dangkalnya Rupa”. Catatan ini dimuat dalam katalog pameran yang diterbitkan oleh GHN.
Menurut Zainul, seni kini cenderung sebagai paradigma utama dalam memahami berbagai kiprah dan proses banyak bidang dalam kehidupan. Ada tendensi bahwa proses-proses pada bidang sains, teknologi, ekonomi, hukum, politik bahkan agama misalnya tak lagi dilihat sebagai proses mekanis,melainkan lebih tepatnya dipahami sebagai proses kreatif-imajinatif dan proses autopoietic. Isu rupa yang mengembangkan imaji-imaji tentang sebuah keindahan memberikan santapan pagi hari yang kering tanpa air (keterasaan). Perasaan yang begitu luasnya membuat buta seniman akan kecilnya teori seni rupa. Seni bukan hanya persoalan suka dan indah saja.
Zainul mengutip buku Edmund Burke Feldman, Art As Image and Idea yang mengklarifikasikan seni sebagai salah satunya sebagai “personal function of art”, menerapkan identitas yang mengekspresikan dimensi psikologis dalam kehidupan dalam bentuk penerjemahan pikiran dan persaaan ke dalam bentuk simbol dan tanda yang konvesional.
Begitupun sebaliknya, katanya, dalam kemajemukan unggahan perasaan memerlukan keindahan. Sifatnya yang berbentuk suatu pengamatan terhadap sifat-sifat indah yang mengacu kesan indrawi, menyandingkannya dengan estetika dengan teori cita rasa yang mengakui tradisi empiris yang memandang platonic dan neoplatonic. Tidak melepaskan deskripsi objek fisik, unsur-unsur bentuknya hingga tafsiran teknik berkarya.
“Maka, lautan yang bagaimana penyelam (seniman, red) temui? Dan bagaimana pula ia bisa terdampar di tepi pantai pulau etah berantah (karya rupa, red)?” katanya beranalogi.
Salah satunya, Zainul berusaha memahami karya fotografi Mohammad Hassan Nazari Ati, berjudul Soul. Hassan adalah satu dari puluhan ribu korban perang saudara di negerinya, Afghanistan, yang memilih meninggalkan negerinya dan mengungsi di Indonesia. Dia tinggal di Pekanbaru bersama pengungsi lainnya. Hasan mendalami fotografi secara otodidak, dan sering sering memposting karyanya di media sosial miliknya.
Dalam Soul, menurut Zainul, Hassan yang menampilkan tiga objek manusia dan satu lengan di bawahnya. Pengambilan objek tersebut menggunakan teknik back light yang menghasilkan sorot bayangan bentuk. Objek tersebut dibatasi dengan kaca agar cahaya tidak tembus sepenuhnya ketika dipotret. Kata Zainul, distorasi jiwa dalam ledakan perang memberikan penurunan kognitif tubuh dalam melihat realita. Kehilangan keterseimbangan membedakan suatu yang nyata dan tidak nyata, mengelaborasi pikiran dan perasaan secara bersamaan. Post traumatic stress disorder (PTSTD) mengganggu kejiwaan seseorang.
Zainul melihat Soul dari sisi pribadi Hassan sebagai seorang korban perang saudara. Menurutnya, dampak dari trauma memberikan gejala stres terus-menerus dengan meninggalkan bekas residu jiwa. Soul yang terperangkap dalam dinding yang mampu dilihatnya namun kuasa diri tidak mampu menjawab panggilan pertolongannya. Keputusasaan tersebut terlihat hanya dengan isyarat dan aba-aba melalui lambaian tangan, yang menyentuh-nyentuhkannya pada dinding penghalang. Selain karya potret Hassan, Zainul juga menelisik sangat dalam dan tajam 12 seniman lainnya yang dipamerkan.
Tokoh masyarakat Riau, drh Chaidir, mengaku senang ada ruang-ruang pameran karya seni rupa seperti GHN. Menurutnya ini harus diapresiasi tinggi. Karena, menurutnya, masyarakat yang mengapresiasi seni dengan baik adalah simbol dari masyarakat itelektual yang berpikir dengan baik. “Ruang-ruang seni seperti ini harus diperbanyak di Pekanbaru dan Riau. Ini akan melahirkan masyarakat intelektual yang berpikir kritis tetapi tetap dengan cara berbudaya,” ujar mantan Ketua DPRD Riau ini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru