PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- PEMERINTAH Kota (Pemko) Pekanbaru menunda rencana meminta izin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menerapkan sekolah tatap muka sekali sepekan. Penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 yang signifikan dan Pekanbaru menjadi zona merah jadi alasannya.
Sebelumnya, pembahasan untuk mematangkan rencana sekolah sekali sepekan digesa jajaran Pemko Pekanbaru. Bahkan, penerapan rencana ini sudah pada tahap Wali Kota (Wako) Pekanbaru Dr H Firdaus ST MT menyurati Kemendikbud agar rencana ini mendapat lampu hijau. Namun penundaan kini dilakukan dan Kemendikbud urung disurati.
"Kan zona merah lagi. Kalau merah tidak bisa kita kirim," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Pekanbaru Ismardi Ilyas saat dikonfirmasi Riau Pos, Ahad (26/7).
Dia kemudian menjelaskan bahwa rencana ini dicetuskan karena Pekanbaru saat itu sekitar dua pekan lalu masih berada di zona kuning, dengan kondisi bahaya penularan rendah.
"Kita mencoba untuk menawarkan ke pusat kalau kuning. Kemarin kan kita kuning. Tapi sekarang kan merah lagi. Makanya kita tahan dulu. Karena kalau merah pasti tidak dikasih. Jadi sekarang tetap pembelajaran online," ujarnya.
Pembelajaran online diakuinya memang tak maksimal. Namun, hanya cara itu yang kini bisa dimaksimal.
"Pasti tidak maksimal. Tapi sekarang kita dalam minimal kita maksimalkan," imbuhnya.
Pembelajaran online saat ini dikeluhkan wali murid. Karena biaya penyiapan kuota internet yang diperlukan juga tidak sedikit. Belum lagi smartphone yang diperlukan tak semua wali murid bisa menyiapkan khusus untuk anaknya.
Ismardi saat ditanyakan menyebut Pemko Pekanbaru memberi izin dana BOS untuk digunakan sekolah membeli kuota internet. Tapi Pemko Pekanbaru belum menyiapkan fasilitas khusus untuk fasilitas pembelajaran online siswa di rumah.
"Belum (disiapkan khusus, red). Sekarang masih yang kita izinkan dana BOS bisa digunakan paket. Karena sekokah yang tahu apa keperluannya. Tiap sekolah tidak sama," tutupnya.
Nakes Positif Berasal dari Berbagai Bagian Pelayanan RS
Kembali terjadi penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Pekanbaru dari kelompok tenaga kesehatan (nakes). Dari total nakes yang positif Covid-19 hingga kini, diketahui tersebar dari berbagai bagian layanan rumah sakit (RS). Namun, belum diketahui dari bagian mana yang terbanyak.
Ahad (26/7), di Pekanbaru terdapat delapan penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 baru. Dari jumlah itu empat orang di antaranya merupakan nakes. Ini membuat total pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Pekanbaru menjadi 145 kasus. Dengan rincian 42 orang masih dirawat, 97 sembuh dan 6 orang meninggal dunia.
Diungkapkan Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Kota Pekanbaru dr Zaini Rizaldy saat dikonfirmasi Riau Pos, penambahan kasus positif Covid-19 baru ini adalah nakes yang sebelumnya ikut swab test massal.
"Iya (nakes, red). Kemarin yang ikut diperiksa, ternyata posiitif," jelasnya.
Jumlah nakes yang sudah puluhan orang positif ini memunculkan pertanyaan tentang potensi penularan Covid-19 di RS yang meningkat. Zaini menyebut di RS yang paling penting adalah tetap waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
"RS itu kan tempatnya orang sakit berobat. Bukan hanya kemungkinan virus ini saja, kuman dan virus dari penyakit lain juga ada. Namanya infeksi nosokomial. Bukan berarti kalau sakit jangan ke rumah sakit. Kalau gitu ke mana orang berobat. Memang risiko tertinggi di RS, apalagi RS rujukan merawat Covid-19. Yang penting petugas RS lebih waspada menangani pasien supaya jangan tertular," papar Zaini yang akrab disapa dr Bob itu.
Ketika ditanya apakah para nakes itu berhubungan langsung dengan pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang dirawat, belum bisa menjelaskan lebih jauh.
"Jadi ini kan belum keluar semua, tapi dari yang sudah ternyata bukan hanya di ruang pendaftaran dan perawatan saja, tapi hampir di sebagian besar ruangan. Tersebar," ungkapnya.
Lebih lanjut dipaparkannya, nakes yang positif Covid-19 bertugas di berbagai layanan RS.
"Ada di pendaftaran, ada di tempat orang melahirkan, rawat inap. Secara keseluruhan itu ada di beberapa tempat. Persentasenya belum. Karena belum keluar semua hasilnya di-swab. Ruangan lain juga belum diperiksa," imbuhnya.
Dia juga belum bisa menjelaskan bagaimana pola penularan yang terjadi di kalangan nakes. Namun dipastikannya saat ini sudah termonitor adanya klaster RS.
"Itu yang belum tahu kita pola penularannya. Belum diperiksa semua dan sebagian belum keluar hasilnya. Iya, sudah (klaster RS)," jawabnya.
Kepada masyarakat, dia kemudian mengimbau bahwa new normal itu bukan berarti kembali pada kondisi sebelum Covid-19.
"Sekarang masih dalam pandemi, masih ada kemungkinan risiko Covid-19. Ada pasien tanpa gejala. Ancaman itu masih ada, makanya harus terapkan protokol kesehatan. Jangankan masyarakat umum, petugas kesehatan yang dibekali APD saja kena, apalagi masyarakat umum. Jadi jangan bilang seolah Covid-19 itu tidak ada," ujarnya.
Kesulitan Belajar Daring, ya Pakai Luring
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih perlu banyak perbaikan. Karena tidak semua daerah memiliki kemudahan yang sama untuk mengadakan PJJ. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan berbagai macam keluhan dalam PJJ fase dua. Kesulitan tak hanya dialami siswa. Namun juga guru.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan bahwa penjadwalan jam belajar yang lama dan berbagai tugas sekolah yang berat masih dirasakan para siswa. Sebab belum ada penyesuaian dari kurikulum 2013.
"Beban guru, siswa, dan orangtua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi," katanya, kemarin (26/7).
PJJ merupakan hal baru bagi anak, orangtua maupun sekolah. Dari survei yang dilakukan KPAI, 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah. Orangtua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring.
"Beban orangtua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemendikbud segera memberlakukan kurikulum adatif yang sudah disederhanakan," tutur Retno.
Selain itu, KPAI juga menyelenggarakan survei yang dilaksanakan pada 8 sampai 14 Juni. Sampel responden anak sebanyak 25.164 orang menunjukkan bahwa terjadi kekerasan psikis dan fisik selama pandemi. Bentuk kekerasan fisik terhadap anak selama pandemi di antaranya dicubit, dipukul, dijewer, dijambak, ditarik, dan bahkan ada yang diinjak.
"Sedangkan bentuk kekerasan psikis terhadap anak selama pandemi di antaranya, dimarahi, dibandingkan dengan anak lain, dibentak, dipelototi, dihina, dan diancam," ujar Retno.
Dia merekomendasikan agar Kemendikbud segera sederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan. Selain itu pemerintah pusat melalui Kemeninfo diminta segera membuat kebijakan pengratisan internet selama PJJ pada enam bulan ke depan.
"Kami mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring," ungkapnya.
Sehingga sekolah menyiapkan penjadwalkan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring. Terutama untuk para siswa SMK yang memerlukan praktek keterampilan.
Sementara itu PGRI memastikan bahwa pada prinsipnya kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung. Apapun caranya. Bagi guru hebat, PJJ bisa menjadi tantangan untuk mencari cara bagaimana menyampaikan materi pendidikan kepada siswa di rumah.
"Mereka akan belajar secara mandiri melalui berbagai media, sehingga menemukan cara-cara terbaik untuk PJJ," terang Wasekjen PGRI Jejen Musfah.
Menurut dia, guru tidak akan mempermasalahkan ada tidaknya jaringan internet dalam PJJ. Bila terpaksa berlangsung dalam kondisi jaringan internet lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, PJJ tetap bisa dilaksanakan. Lewat modal faktual yang ada di masing-masing daerah. yang terpentig, tanggung jawab mengajar siswa bisa tetap terlaksana.
Meskipun demikian, Jejen juga mengakui masih ada guru-guru biasa yang mencari-cari alasan saat mendapatkan kesulitan dalam mengajar. Karena itu, kuncinya adalah kreatif dalam mengajar. Bila memutuskan memakai sistem daring, maka kepala sekolah wajib memastikan semua guru dan siswa memiliki dan mampu mengakses perangkat teknologi. Bila tidak, maka bisa mencari alternatif lain.
Jejen menuturkan, di berbagai daerah masih ada guru-guru yang belum terlalu melek teknologi. PGRI melalui jaringannya di daerah berupaya memastikan proses belajar mengajar tetap bisa dilakukan.
"Sebagian murni PJJ, sebagian tatap muka dnegan waktu yang dikurangi dan menjalankan protokol kesehatan," lanjutnya.
Yang jelas, pihaknya selalu berkoordinasi dengan jajaran di bawah untuk memastikan semua sekolah mampu menyiasati situasi yang ada. Apalagi, pemerintah sudah memberikan kelenturan kurikulum dan evaluasi. Tinggal bagaimana sekolah dan para guru kreatif menjalankannya di lapangan. Meskipun demikian, tetap masih ada aspirasi para guru yang perlu diperhatikan pemerintah. Misalnya, memberikan kelonggaran agar dana BOS bisa digunakan untuk membeli kuota internet, membayar guru honorer tanpa syarat NUPTK, dan pembelian alat-alat pendukung kesehatan di sekolah. Para guru juga berharap agar tunjangan profesi tetap diberikan di masa pandemi. Begitu pula THR dan gaji ke-13.(lyn/byu/jpg/ted)
Laporan: M ALI NURMAN (Pekanbaru)