(RIAUPOS.CO) -- BERAGAM alasan di balik protes sejumlah orangtua siswa saat masa penerimaan peserta didik baru (PPDB). Di antaranya adalah mereka kecewa karena dengan sistem berbasis ’’meteran’’ tersebut, peluang diterima di sekolah negeri favorit menipis. Kondisi ini membuka tabir bahwa pemerataan kualitas sekolah negeri sampai saat ini masih jadi persoalan.
Salah satu cara mudah melihat kualitas sekolah melalui akreditasinya. Sayangnya sebaran sekolah negeri dengan akreditasi A belum merata. Apalagi untuk jenjang SMA. Kondisi ini yang ditengarai memicu polemik PPDB berbasis zonasi yang saat ini masih berlangsung di sejumlah daerah.
Sampai saat ini proses akreditasi masih berjalan. Untuk akreditasi periode 2018 belum seluruhnya dipublikasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM). Di antara yang sudah keluar adalah akreditasi untuk Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Dalam laporan akreditasi 2018 SMA untuk Provinsi Jawa Tengah bahkan ada sejumlah daerah yang tidak keluar akreditasi A-nya. Di antaranya adalah di Brebes, Pekalongan, Boyolali, Kebumen, Purworejo, dan Purbalingga. Sementara itu di Kota Semarang ada lima sekolah yang terakreditasi A dalam laporan tersebut.
Sebaliknya pada periode yang sama di DKI, jumlah akreditasi A untuk jenjang SMA cukup banyak. Dari 78 unit sekolah yang diakreditasi tahun lalu, 68 unit (87,2 persen) mendapatkan akreditasi A. Sisanya sepuluh sekolah mendapatkan akreditasi B dan tidak ada sekolah yang memperoleh akreditasi C. Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menuturkan persoalan pemerataan kualitas sekolah negeri memang masih menjadi persoalan sampai saat ini. Dia menuturkan PPDB berbasis zonasi tepat dilaksanakan jika kualitas sekolah negeri yang sudah merata, bahkan sampai tingkat kecamatan.
Dengan adanya fenomena penolakan sejumlah masyarakat dalam pelaksanaan PPDB berbasis zonasi, Jejen menjelaskan pemerintah perlu segera melakukan pemetaan keberadaan sekolah negeri. Khususnya di jenjang SMA sederajat.
Dengan adanya pemetaan yang baik, Jejen mengatakan pemerintah bisa segera membangun unit sekolah negeri baru. Sehingga saat dibuka pendaftaran siswa baru, pelamar tidak menumpuk di sekolah tertentu. Selain itu semangat zonasi juga lebih bisa diterima masyarakat jika jumlah sekolah semakin menyebar.
Selanjutnya setelah unit sekolah baru terbangun, pemerintah sekaligus melakukan perbaikan kualitasnya. Dia mengatakan perbaikan kualitas sekolah dilakukan dengan peningkatan sarana dan prasarana serta penyebaran guru. Jejen yang juga pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu mengatakan guru-guru dengan kualitas bagus jangan terkonsentrasi pada sekolah-sekolah negeri di perkotaan saja.
Dia juga mendapatkan informasi bahwa pemerintah akan melakukan redistribusi guru. Jejen berharap persoalan mendasar para guru saat ini, khususnya guru non-PNS di sekolah negeri, adalah gaji. Jejen berharap pemerintah bisa menetapkan standar gaji minimal untuk para guru non-PNS yang mengajar di sekolah negeri.
’’Sama seperti orang yang bekerja di pabrik, ada standar upah minimalnya,’’ katanya.
Jejen menyarankan agar ada pembenahan kualitas guru. Alasannya kualitas anak ditentukan kualitas proses penyelenggaran belajar mengajar di kelas. Proses guru itu ditentukan kepala sekolah,” bebernya.
Sementara itu Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan pertemuan dengan seluruh kepala sekolah dari 34 provinsi. Dia menceritakan dalam rakor tersebut, Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta untuk segera melakukan pemerataan guru per zona bagi sekolah negeri. ”Jangan terjadi penumpukan guru PNS dan sudah bersertifikat di salah satu sekolah, harus disebar ke sekolah yang ada di zona,” ungkapnya.
Harapannya ke depan semua sekolah mutunya baik. Sejauh ini yang sudah melakukan distribusi guru per zona adalah Provinsi Kalimatan Utara.
”Rencananya kami mengadakan Rakor bersama Kemendagri, Menpan-RB, BKN, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam pertemuan itu akan membicaraan keperluan guru masing-masing daerah,” ujar Supriano.
Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan bahwa sistem zonasi tidak langsung baik. Dia mencontohkan di Jepang.
”Justru dengan zonasi ini kita harapkan masalah pendidikan itu terpetakan dalam lingkup yang lebih kecil. Yaitu mikroskopik,” bebernya.
Dengan mengetahui persoalan yang lebih detail maka perbaikan akan lebih tepat. Misalnya daya tampung siswa. ”Jadi nanti kalau memang terbukti daya tampungnya tidak mencukupi kan bisa kita tambah. Buat sekolah baru,” tuturnya.
Lalu bagaimana dengan distribusi guru yang tidak merata? Muhadjir berjanji agar distribusi guru diratakan. Guru yang berkualitas ada di sekolah tertentu akan dirotasi. Dia menyatakan bahwa mutasi ini akan dikaji.
”Kecuali memang kalau terpaksa ada yang harus dipindah dari zona ke satu ke zona lain. Itu kalau harus ada pertimbangan tertentu,” tuturnya.(wan/han/ted)
Laporan JPG, Jakarta