MELIHAT 4 DESA DI KAMPAR KIRI HULU MASIH TERISOLIR (1)

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Bagus

Riau | Rabu, 24 Februari 2016 - 10:30 WIB

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Bagus
Kondisi jembatan penghubung Desa Batu Sasak dengan Lubuk Bigau, Kampar Kiri Hulu yang memprihatinkan dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat pascalongsor dan banjir bandang, Jumat (19/2/2016).EKA GUSMADI PUTRA/RIAU POS

Sudah lebih empat bulan Kampar Kiri Hulu dilanda longsor dan banjir bandang. Namun empat desa di sana masih terisolir akibat putusnya akses jalan. Masyarakat di sana pun menjerit, penderitaan mereka seakan tak berujung.

HARI masih pagi. Sisa-sisa embun dini hari membasahi jalan tanah yang liat. Kontur mendaki dengan kemiringan 75 derajat disambut pula jalan menurun yang kemiringannya 80 derajat, lengkap dengan tikungan tajamnya. Bukan satu, tapi puluhan bukit sepanjang belasan kilometer yang harus dilalui Agus (16). Dari rumahnya menuju kebun dengan mengendarai sepeda motor yang sudah dimodifikasi.

Baca Juga :Anggaran Minim Jangan Dijadikan Alasan

Kondisi tersebut dalam keadaan tidak hujan. Kalaulah hujan sedikit saja, alamat terjungkir balik setiap sepeda motor warga yang melintas di kampung itu. Cedera ringan maupun cedera berat sudah menjadi suatu yang lumrah setiap harinya di sana.

Agus adalah warga kampung. Ijazah SD-nya ditahan di panti asuhan di Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar). Ia kembali ke kampung halaman, Desa Tanjung Karang, Kampar Kiri Hulu. Desa kedua setelah perbatasan Kampar Kiri dengan Kampar Kiri Hulu setelah Desa Deras Tajak.

Mengenai ijazah SD yang ditahan panti asuhan, dia gagal menyelesaikan sekolahnya di sana di kelas tiga SMP pada 2015. Ia kembali ke kampung halaman, karena tak sanggup membayar biaya makan seikhlasnya yang dipungut panti . Alhasil, karena pergi tanpa pamit serta banyak utang-piutang, segala surat-surat dan ijazahnya hingga kini masih di sana.

Tubuh Agus kurus dengan wajah layaknya lelaki desa yang beranjak dewasa. Itu tak membuatnya sedih karena sudah putus sekolah. “Tak perlu sekolah untuk sekadar menyambung hidup di kampung dan berkebun. Hanya kalau ke kebun, memang betul-betul perlu perjuangan,” kata remaja berkulit hitam itu saat membonceng Riau Pos menembus desa-desa terisolir di Kampar Kiri Hulu setelah terjatuh berkali-kali.

Selain kicau burung dari pohon-pohon di perbukitan, kokok ayam juga sahut-bersahut seperti alunan syair alam di tengah rindang pepohonan. Hampir sejajar dengan gugus bukit barisan, para bocah tampak berlarian ke warung di Batu Sasak, desa ketiga yang ditemui setelah kampung halaman Agus. Menyerahkan uang Rp1.000 dan mengambil es lilin kesukaan membuat bocah di sana bahagia tak terkira.

Deras Tajak merupakan desa pertama perbatasan Kampar Kiri dengan Kampar Kiri Hulu. Berjarak sekitar 65 km dari Lipat Kain. Waktu tempuh ke sana mencapai tiga jam lebih. Itu kalau tidak hujan dan kondisi kendaraan baik. Di mana seharusnya jika jalan bagus, dengan kecepatan 60 km/jam bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam.

Memang 25 persen jalan, dari Simpang Kuntu, Lipat Kain menuju wilayah tersebut sudah diaspal dan rigid pavement dengan dukungan Pemkab Kampar dan Pemprov Riau. Namun sama sekali belum menyentuh Kampar Kiri Hulu. Belum lagi yang dilalui adalah tebing-tebing tinggi di perbukitan dengan jurang di sisi kiri-kanannya.

“Kalau tak hati-hati milih jalan Bang, sejak lepas dari Muara Selaya ke Deras Tajak, bisa-bisa tak sampai ke kampung Bang. Karena jatuhnya bahaya, langsung cedera,” cerita Agus sambil memperbaiki pijakan remnya yang sudah lepas.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook