MELIHAT 4 DESA DI KAMPAR KIRI HULU MASIH TERISOLIR (1)

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Bagus

Riau | Rabu, 24 Februari 2016 - 10:30 WIB

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Bagus
Kondisi jembatan penghubung Desa Batu Sasak dengan Lubuk Bigau, Kampar Kiri Hulu yang memprihatinkan dan tidak bisa dilalui kendaraan roda empat pascalongsor dan banjir bandang, Jumat (19/2/2016).EKA GUSMADI PUTRA/RIAU POS

Sejak dari Desa Lubuk Agung memang jalan masih rigid, di sana juga ada sinyal. Sampai bukit yang berdiri tower salah satu penyedia layanan telepon selular. Kemudian memasuki Muara Selaya sinyal mulai hilang. Listrik tak lagi menyala. Kampar Kiri Hulu yang aksesnya terisolir terjadi sejak longsor dan banjir bandang yang terjadi akhir November 2015 lalu.

Hingga 20 Februari lalu, empat bulan berlalu. Pantauan Riau Pos di lokasi desa terisolir yang coba ditembus, memang kondisinya sangat memprihatinkan.  Jauh dari daerah layak huni bagi masyarakat. Mulai Deras Tajak, Tanjung Karang, Batu Sasak masih bisa dilewati kendaraan roda empat.

Baca Juga :Anggaran Minim Jangan Dijadikan Alasan

Beberapa warga menarik mobil pick up yang kesulitan melewati jalan terjal yang berlumpur menuju tujuh desa di Kampar Kiri Hulu

“Kalau hujan turun, alamat tak bisa tembus mobil. Walau sudah ditarik sling,” kata warga Lubuk Bigau, Ari yang juga ikut menemani Riau Pos.

Lubuk Bigau merupakan desa pertama yang terputus dari akses dunia luar. Akses telepon, listrik, makanan empat sehat lima sempurna, pendidikan wajib belajar 12 tahun dan hidup layak sebagai masyarakat Indonesia lain sepatutnya. Antara desa Batu Sasak, terdapat sebuah jembatan darurat yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Sementara di simpang jembatan tersebut, sebuah ambulans dari Puskesmas Induk Kampar Kiri Hulu stand by menunggu warga kampung yang sakit.

Lubuk Bigau-lah, desa terisolir di Kampar Kiri Hulu dimulai. Penderitaan masyarakat pun sejak empat bulan terakhir seakan belum ada solusi dari pemerintah. Kemudian disambung Desa Kebun Tinggi, Pangkalan Kapas, dan Tanjung Permai. Kemudian gugus Bukit Barisan, dan selanjutnya Buluh Kasok yang sudah masuk Payakumbuh, Sumbar.

Jarak Lubuk Bigau dan tiga desa lainnya hanya sekitar 2-5 km masing-masingnya. Namun harus ditempuh dengan waktu sampai setengah hingga satu jam. Melewati jalan tanah kuning yang di belasan titik tertimbun longsor. Sehingga ada daerah yang harus dilalui dengan melewati bebatuan tebing yang sudah jatuh. Juga melewati jembatan yang dirangkai dari beberapa kayu ubar.

“Jika salah memilih kayu yang tepat di jembatan ini, masuk sungailah kita Bang,” sambung Agus.

Ada belasan jembatan serupa yang dialui Riau Pos. Bahkan ada juga sungai dangkal yang harus ditempuh. Karena jalan lama sudah tertutup sama sekali menjadi gundukan bukit rendah dan tak bisa dilewati lagi. Siapa sangka, di sana ada sekitar hampir 2 ribu jiwa yang menghuni empat desa terisolir tersebut.

Karena itu pula, Agus memilih sekolah di Bukittinggi. Karena jarak ke Payakumbuh dari kampungnya hanya sekitar 20-an km saja, sementara ke Lipat Kain mencapai 74 km. Sayang, masalah ekonomi membuat orangtua Agus tak mampu membiayai sekolah anaknya hingga tamat SMP.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook