Lagi-lagi, hal tersebut bukan persoalan luar biasa bagi warga usia sekolah di empat desa terisolir dan tiga desa lainnya di wilayah berbahaya perbukitan itu. Sebab yang terpenting, lebih kepada akses dan infrastruktur jalan. Demi memperbaiki perekonomian mereka dan tetap bertahan hidup di tengah rendahnya harga karet.
Ketua Badan Permusyawaratan Desan Lubuk Bigau Firman saat ditemui Jumat (19/2) di rumahnya yang sudah berdinding semen. Tanpa kursi di ruang tamu, mempersilakan Riau Pos masuk ke dalam dan duduk di tikar. Suguhan air putih di tengah kampung yang sedang dilanda bencana tak berkesudahan tersebut adalah nikmat atas karunia Allah yang patut disyukuri.
“Empat desa di sini barangkali sudah kelaparan, kalau tidak dibantu,” kisah Firman mengawali cerita.
Bantuan dimaksudnya, adalah yang datang dari Pemprov Riau pascalongsor akhir November. Di mana ketika itu melalui bantuan helikopter BNPB, didistribusikan logistik ke wilayah empat desa tersebut pada Desember. Dari 10 kali penerbangan, berhasil mendarat tujuh kali, dengan masing-masing membawa logistik utama berupa beras sejumlah 500 kg, atau total ada 3,5 ton beras. Dan tambahan bantuan lainnya ketika itu.
Setelah bantuan itu, memang sama sekali tak ada lagi bantuan bagi masyarakat. Sehingga beras pun sempat mencapai harga Rp30 ribu perkilo gramnya pada akhir Desember. Selaku masyarakat Lubuk Bigau, dikatakannya memang anak-anak banyak yang bersekolah di Payakumbuh dan Bukittinggi. Karena mengingat jarak. Namun sejak akses jalan untuk roda empat putus, banyak anak usia sekolah pulang ke kampung halaman dan sekolahnya berhenti.
“Jangankan sekolah, bisa makan saja sudah bagus. Memang jalan ini yang jadi masalah utama kami sekarang,” sambungnya.
Dengan mata berkaca-kaca, Firman berkisah tentang usaha warga pascajalan di kampungnya putus. Mata kehidupan mereka adalah berkebun karet. Sekarang harganya cuma Rp3 ribu per kilo. Dengan usia Firman yang sudah 55 tahun, dia hanya mampu menakik getah 10 kg per hari atau Rp30 ribu. Sementara beras sekilo sekarang Rp15 ribu, ikan teri Rp100 ribu.
“Kalau dihitung-hitung, memang kerja untuk makan saja kami, tak pakai sambal,” ujarnya.
Melalui Riau Pos Firman berharap bisa menyambung lidah mereka yang sudah kelu mengeluh. Sayup-sayup suara lantunan ayat suci Alquran terdengar dari toa masjid kecil di Lubuk Bigau. Lelaki paruh baya melintas berjalan kaki dengan wajah letih menyandang keranjang di punggung, tali melilit di kepala sepulang memanen getah dan melemparkan senyum di tengah perbincangan sulitnya hidup. Menjadi contoh nyata kesusahan yang diceritakan Firman siang itu.