Ketua DPRD Bengkalis Abdul Kadir terpaksa membuat keputusan yang tak populer meminta kepada organisasi pemerintahan daerah ( OPD) tidak melakukan proses lelang sebelum APBD dirasionalisasi. Praktis semua OPD tiarap tak berkutik, tak sanggup mengutak-atik kegiatan fisik, pengadaan barang dan jasa apalagi mengurangi hak pegawai yang jelas tertuang di buku APBD.
Tak kalah galau melanda pemerintah Provinsi Riau. Kegiatan yang bernilai strategis masih meringis. Saat ini Pemprov Riau di dera defisit anggaran di atas Rp1,2 hingga Rp2 triliun. Dipastikan membawa dampak buruk, kegiatan skala kecil dan besar terancam mangkrak. Jembatan Siak 4, pembangunan fly over, pembangunan gedung dan jalan. Maka dapat dipastikan pemprov dan kabupaten kota megap-megap.
Beban berat dirasakan daerah-daerah yang mengandalkan dana DBH seperti Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak, Kuantan Singingi, Kampar, Pekanbaru dan Indragiri Hulu. Hanya Inhil satu- satunya daerah yang tidak goyah dengan situasi terkini karena tidak terlalu mengandalkan DBH.
Maknanya pemerintah daerah menghadapi persoalan serius. Dampaknya tidak hanya berakibat kepada kesulitan anggaran tetapi yang lebih kronis akan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin daerah dan puncaknya kepada Presiden RI Joko Widodo. Jika tak segera teratasi tersendatnya DBH maka akan mengancam stabilitas ekonomi, politik lokal dan nasional.
Di pihak lain, para kontraktor, rekanan pemerintah dibuat mabuk. Pekerjaan sudah diselesaikan tetapi pemerintah tak hendak bayar karena duit kas memang sudah habis. Yang terjadi meski tahun anggaran sudah berakhir ternyata masih menyisakan masalah besar. Seperti pada awal 2017, kontraktor mendatangi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Riau.
Mereka marah, sebab uang hasil pekerjaan yang sudah dirampungkan 100 persen belum juga dibayarkan pemerintah. Utang telah menjadi rantai setan, daerah utang kepada rekanan, negara utang ke luar negeri. Sadisnya daerah utang ke rakyatnya nol bunga, sementara negara membayar utang bunga dan modal rakyat yang menanggungnya.
Kasus yang sama terjadi di Bengkalis, rekanan ramai-ramai memasang spanduk sebagai aksi agar pemerintah memberikan solusi terkait belum dibayarkannya sejumlah kegiatan atau proyek. Penderitaan terus berlanjut, banyak kontraktor “semput”, karena modal yang digunakan berasal dari sumber pinjaman bank, bunganya harus dibayar setiap bulan.
Beban derita semakin berat tenaga kerja belum semuanya dibayar lunas. Sedangkan pekerja yang belum dibayar lebih celaka, rezeki yang di nantikan keluarga anak isteri sirna. Efek buruk berentetan, sejumlah warung keperluan harian gulung tikar karena banyak yang utang tidak sanggup membayar.
Pemilik warung di kejar-kejar utang karena modalnya meminjam ‘’bank plecit’’ (rentenir) bunganya mencekik. Tidak hanya warung kecil yang bangkrut, toko besar penyedia bahan- bahan bangunan limbung. Rantai sistem pembayaran yang biasanya berjalan lancar, era pemerintahan sekarang berkecai- keca’.
Efek buruk domino menghantam bisnis swasta, bisnis properti , hotel, restoran, travel dilanda kelesuan. Kontraktor bukan tidak mau membayar, tetapi memang kondisinya semua tahu negeri ini sedang “sekarat”. Defisit anggaran terus memakan korban.
Ribuan tenaga honorer dibuat jantungan, sekejap dirumahkan sekejap gaji akan diturunkan, negeri ini benar- benar tidak memberikan rasa nyaman. Pagi hari berangkat kerja menjadi tak semangat karena kabar buruk tak menentu yang diterima setiap bangun tidur.
Hampir semua ASN terkena imbasnya, tunjangan kerja berkurang tajam, sementara surat pegawai terlanjur digadaikan untuk bayar biaya kredit kebutuhan harian dan beli motor untuk tranportasi anak pergi sekolah.
Diketahui pada pembahasan anggaran daerah bersama eksekutif dan legislatif, pemerintah Riau akan kesulitan melaksanakan program dan kegiatan yang ditetapkan dalam APBD 2018-karena target SiLPA tahun 2017 jauh lebih besar dari kenyataan dan jumlah dana perimbangan menurut perpres lebih kecil dari target yang ditetapkan.
Tercatat sejak 2016, pemerintah pusat tidak pernah utuh mentransfer DBH migas ke Riau. Maka berdampak kepada pembiayaan kegiatan, termasuk pengadaan barang dan jasa yang harus dilakukan tunda bayar. Praturan Daerah Provinsi Riau Nomor 8 Tahun 2017 ditetapkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun 2017 sebesar Rp1.089 triliun.
Sedangkan menurut rancangan peraturan daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi Riau Tahun 2017, realisasi SiLPA tersebut hanya sebesar Rp58.3 miliar. Artinya, pada 2018 ini, pemerintah Provinsi Riau akan kesulitan melaksanakan program dan kegiatan yang telah direncanakan, karena harapan akan memperoleh aliran anggaran sebesar Rp1.089 triliun tidak dapat direalisasikan.
Kondisi semakin sulit ketika yang dihadapi Pemerintah Provinsi Riau adalah jumlah realisasi Dana Perimbangan yang tidak sesuai dengan yang ditargetkan.Terang saja demikian sebab jumlah anggaran pendapatan dana perimbangan menurut APBD Provinsi Riau 2018 sebesar Rp5.262 triliun. Sedangkan alokasinya menurut Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tanggal 30 November 2017 tentang Rincian APBN Tahun 2018 hanya sebesar Rp 4.891 triliun atau lebih rendah sebesar Rp371.328 miliar.
Melihat gentingnya persoalan yang dihadapi, anggota Banggar DPRD Riau, Selasa (17/7) mempertanyakan langsung ke Kementerian Keuangan di Jakarta. Mendapat jawaban jelas tetapi hasilnya tidak jelas-khususnya terkait DBH, daerah diminta sabar menunggu. Yang membuat tak sedap lagi, Kemenkeu mengunakan rumus dinamis dalam menghitung DBH, dinamis dengan asumsi berubah berkurang bukan bertambah.
Sebagai contoh di Bengkalis. penerimaan DBH Migas triwulan I (Januari-Maret) 2018, pemerintah pusat hanya mentransfer 20 persen dan dikhawatirkan pada triwulan II, III dan IV DBH Migas hanya ditransfer 20 persen per triwulannya. Artinya, tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, Bengkalis hanya menerima sekitar 80 persen DBH Migas.
Penerimaan DBH Migas Bengkalis tahun 2018 pada kisaran angka Rp2,2 triliun. Jika pusat hanya mentransfer 80 persen atau Rp1,76 triliun artinya ada kekurangan bayar sekitar Rp440 miliar. Sedangkan total APBD Bengkalis tahun 2018 yang sudah disahkan mencapai angka Rp3,6 triliun. Kondisi keuangan Bengkalis hanya berada pada angka sekitar Rp2,8 hingga Rp3 triliun. Bermakna APBD 2018 terjadi defisit sekitar Rp 600 miliar. Belum termasuk pembayaran utang pihak ketiga dan dana desa tahun 2017 yang mencapai Rp450 miliar.
Begitulah gambaran anggaran belanja pemerintah daerah di Riau tahun 2018. Mencermati problem yang dihadapi diperlukan langkah kongkrit sehingga bisa keluar dari kubangan semak belukar yang meletihkan badan pikiran. Di antara solusi yang ditawarkan dalam diskusi ringan saya bersama rekan-rekan banggar sesaat sebelum naik pesawat-mungkin ekstrim tetapi boleh jadi sebagai resep mujarab yaitu pertama, kurangi jumlah ASN. Kedua, merampingkan lembaga birokrasi secara otomatis biaya tak langsung tidak membengkak. Ketiga, menggurangi atau menghapus kegiatan tidak langsung yaitu biaya ATK, perjalanan dinas dan tunjangan- tunjangan lainnya.
Bisa jadi untuk keluar dari problem yang membelenggu, saat pandangan saya pribadi saatnya mengubah bentuk pemerintahan. Bagaimana kalau pemerintah daerah yang memberikan duit kepada pemerintah pusat, bukan seperti sekarang pemerintah daerah dipaksa mengemis kepada pemerintah pusat.***