PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Kasus perceraian menjadi fenomena tersendiri yang membuat penasaran. Di Riau, kasus perceraian masih tergolong tinggi. Total tercatat sebanyak 10.636 perkara perceraian masuk ke Pengadilan Agama (PA) di kabupaten/kota se-Riau jelang akhir tahun ini. Penyebabnya cukup klasik. Yakni masalah ekonomi dan penggunaan media sosial (medsos) yang terjerumus ke perselingkuhan.
Pekanbaru menjadi yang tertinggi di antara kabupaten/kota di Riau. Kasus perceraian di Pekanbaru tercatat didominasi cerai gugat, dibandingkan dengan cerai talak. Berdasarkan data Pengadilan Agama Pekanbaru setidaknya ada 1.538 cerai gugat sepanjang tahun ini. Sementara untuk cerai talak sampai akhir November 2022, totalnya tercatat ada 548 kasus.
Melihat data tersebut, artinya hampir setengahnya adalah seorang istri yang minta cerai. Banyak alasan terjadinya perceraian yang diterima pihak PA Pekanbaru. Salah satu yang umum diutarakan untuk bercerai karena soal ekonomi, di samping permasalahan lainnya.
“Penyebabnya secara umum, pertama pertengkaran dikarenakan masalah ekonomi, dugaan perselingkuhan dan hal-hal lain seperti pengaruh keluarga,” ungkap Wakil Ketua Pengadilan Agama Pekanbaru Khairunnas kepada Riau Pos.
“Yang masyarakat sipil biasa yang paling banyak. Kalau ASN ada, tetapi tak mendominasi,” terangnya.
Demikian juga di Kampar. Sejak Januari-Desember, Pengadilan Agama Bangkinang menerima 1.457 perkara gugatan yang terdiri dari perkara cerai gugat yang mencapai 1.084 perkara dan cerai talak 385 perkara.
Panitera Pengadilan Agama Bangkinang Burhanuddin SH MH mengatakan, perkara gugatan perceraian di Pengadilan Agama Bangkinang termasuk yang tertinggi setelah Pekanbaru. Banyak yang mengajukan perceraian dengan berbagai macam faktor.
‘’Tingginya volume perceraian di Kabupaten Kampar disebabkan faktor ekonomi menempati urutan pertama. Sekitar 60 persen. Kemudian pengaruh dari pihak ketiga. Pihak ketiga itu bisa mertua, orang tua, dan bisa orang lain. Faktor perselingkuhan menempati nomor dua sekitar 25 persen. Kemudian tidak ada tanggung jawab dan KDRT sekitar 15 persen,’’ jelas Burhanuddin di Kantor Pengadilan Agama Bangkinang, Rabu (14/12).
Burhanuddin menjelaskan, banyaknya angka perceraian ini karena wilayah Kabupaten Kampar yang sangat luas dan penduduknya banyak. Daerah transmigrasi menyumbang banyaknya kasus perceraian.
‘’Kalau di Kota Bangkinang angka perceraian tidak terlalu banyak. Yang paling banyak itu di daerah Tapung dan daerah transmigrasi di Kamparkiri. Mungkin pengaruh minimnya penyuluhan hukum keluarga. Ada juga pengaruh Undang-Undang. Dengan UU KDRT itu, dipelototi saja sudah bisa masuk ke pengadilan,’’ jelas Burhanuddin.
Burhanuddin menambahkan, penyebab perceraian lain adalah kematangan dalam berumah tangga. Tidak diberi nafkah tiga bulan sudah masuk ke Pengadilan Agama. ‘’Kalau orang tua kita dulu, berumah tangga apapun akibatnya ditahan. Sekarang tidak, tiga bulan saja tidak dikasih nafkah sudah masuk PA,’’ kata Burhanuddin.
Burhanuddin menyampaikan upaya memutuskan pernikahan ini, tidak serta dikabulkan oleh hakim ada proses mediasi. Kalau kedua pihak datang melalui upaya damai dalam persidangan. Karena dalam hukum acara keluarga khusus perceraian batal demi hukum. Hakim yang memutuskan perkara itu tanpa upaya damai.
‘’Itulah sebabnya beragam-ragam penyebab perceraian. Tetapi yang paling banyak karena masalah perekonomian. Yang banyak gugatan perceraian umumnya kalangan menengah ke bawah. Kalau dari kalangan PNS untuk 2022 ini tidak sampai 60 kasus perceraian. Yang banyak gugatan adalah istri cerai gugat,’’ jelas Burhanuddin.
Burhanuddin menambahkan, usaha yang dilakukan Pengadilan Agama Bangkinang menekan semakin tingginya angka perceraian dengan penyuluhan hukum kerja sama dengan biro hukum Setkab Kampar. ‘’Saya ditunjuk sebagai narasumber, tetapi ini tidak terlalu efektif karena wilayah Kabupaten Kampar yang sangat luas,’’ jelas Burhanuddin.
Sedangkan di Kabupaten Kuansing, kasus perceraian sepanjang tahun 2022 mencapai 469 perkara. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak adalah kasus laporan cerai gugat yang diajukan istri yakni 335 perkara. Sedangkan untuk laporan cerai talak berjumlah 134 perkara.
Hal itu dibenarkan Ketua Pengadilan Agama Telukkuantan, Niva Resna kepada Riau Pos di ruang kerjanya, Kamis (15/12). “Kasus ini berkurang dari tahun lalu. Kalau selama tahun 2021, kasus perceraian berjumlah 505 perkara, dengan rincian cerai gugat 373 dan cerai talak 131 perkara,” beber Niva.
Niva mengatakan, penyebab perceraian tersebut terbanyak diakibatkan masalah tanggung jawab suami kepada isteri sehingga dengan tuntutan tanggung jawab dari istri terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perceraian.
“Iya. Faktor ekonomi juga. Namun, perceraian di Kuansing ini lebih banyak alasan-alasan yang klasik. Kalau kasus perselingkuhan, termasuk sedikit di sini,” terang Niva.
Niva berharap, ke depan, suami istri harus saling mengerti dan memahami sifat pasangan masing-masing. Sehingga, apabila terjadi perselisihan tidak berujung pada perceraian. “Pertengkaran di rumah tangga hal yang biasa. Tapi jangan karena hal-hal yang sepele, lalu dipersoalkan hingga berbuntut panjang. Nah, ini yang nantinya akan berujung perceraian. Maka, perlu kedewasaan diri dalam menyikapi semua persoalan di rumah tangga,” kata Niva.
Sedangkan untuk kasus perceraian di ASN yang ada di Kuansing, data yang dihimpun Riau Pos dari Badan Kepegawaian Pelatihan dan Pendidikan (BKPP) Kuansing menyebutkan laporan kasus perceraian ASN di Kuansing menurun jika dibandingkan dengan tahun 2021.