JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Perceraian berdampak terhadap psikologis dan mental anak. Pasangan yang memutuskan berpisah tetap memiliki tanggung jawab dalam membesarkan anak. Untuk meminimalkan dampak buruk dari perceraian, pengasuhan bersama atau co-parenting dapat dilakukan. Seperti apa?
Tetap menjaga hubungan baik satu sama lain meskipun sudah bercerai adalah pilihan yang tepat. Papa mama bisa membuat kesepakatan untuk mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak bersama-sama. Dengan begitu, itu akan berdampak positif bagi kesehatan mental anak.
'’Hal itu menumbuhkan secure attachment pada anak yang akan berdampak pada kemampuannya menjalin hubungan sosial nantinya,’’ tutur psikolog klinis dan keluarga Pritta Tyas M. MPsi Psikolog.
Anak tetap merasa dicintai, berharga, dan penting. Kepercayaan dirinya pun jadi meningkat. Anak jadi lebih mudah mengungkapkan ide dan pendapatnya. Namun, jika secure attachment itu tidak terbentuk, anak akan merasa lingkungannya kurang aman sehingga menjadi pribadi yang kurang percaya diri.
’'Pada beberapa anak, akan timbul perilaku menantang seperti sulit diajak bekerja sama dan melakukan perilaku yang melanggar aturan,’’ imbuh co-founder @goodenoughparents.id tersebut.
Karena itu, co-parenting penting dilakukan. Tentu, tidak mudah menjalankannya. Terlebih, tidak semua pasangan berpisah secara baik-baik.
’’Sebelum proses perpisahan, sebaiknya kedua pasangan melakukan konseling pernikahan sehingga bisa dibantu menguraikan masalah, konflik, dan ketidaksepakatan satu sama lain,’’ ujar Pritta.
Psikolog juga dapat membantu ortu untuk mengambil langkah tepat dalam menyampaikan dan menyiapkan anak. Berikan penjelasan tentang co-parenting pada anak dengan bahasa sederhana. Pada anak yang sudah mampu memahami, sampaikan bahwa papa mamanya tidak lagi tinggal bersama.
’’Sampaikan pula bahwa papa mamanya tetap mencintainya dan akan bekerja sama untuk bisa menemaninya,’’ lanjut co-founder Sekolah Bumi Nusantara Montessori tersebut.
Co-parenting yang dilakukan tidak hanya terkait terpenuhinya kebutuhan fisiologis mendasar anak seperti makan, tempat tinggal layak, dan waktu tidur yang berkualitas. Kebutuhan akan rasa aman dan kasih sayang juga harus diberikan.
’’Misalnya, tidak ada anggota keluarga yang berkata kasar, membentak, dan bertengkar. Saat anak salah, tidak langsung dimarahi, berikan pelukan hangat dan dengarkan ceritanya. Termasuk, anak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi bakat dan minatnya,’’ papar Pritta.
Jika co-parenting tidak memungkinkan untuk dilakukan, pastikan kebutuhan love and belonging-nya terpenuhi. Bisa dari anggota keluarga lain seperti kakek dan nenek. Setidaknya anak memiliki support system lain yang dapat memberikannya cinta dan kehangatan.
KRITERIA CO-PARENTING YANG SEHAT
• Memiliki visi dan tujuan yang sejalan terkait perkembangan dan masa depan anak.
• Adanya kesepakatan terkait pembagian tanggung jawab dan peran dalam keseharian anak. Sebaiknya terdapat jadwal rutin yang dapat dipahami oleh anak.
• Setiap orang tua hendaknya menepati janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Misalnya, akhir pekan bersama ayah, keseharian sekolah bersama ibu.
• Menunjukkan kesan positif tentang ayah/ibu terhadap anak. Hindari membicarakan kekurangan ayah/ibu di depan anak.
• Saat salah satu orang tua memiliki pasangan kembali, co-parenting bisa tetap dilanjutkan. Bila memungkinkan, pasangan ayah/ibu ikut terlibat sesuai batasan yang disepakati.
• Hindari perbedaan pendapat di depan anak. Anak biasanya sensitif terhadap perubahan nada atau intonasi dari orang tuanya.
Sumber: Pritta Tyas M. MPsi Psikolog
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman