JAKARTA dan PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Rapat terbatas (ratas) terkait dampak El Nino digelar di Jakarta, Selasa (18/7). Adanya fenomena iklim ini berpotensi pada kekeringan dan mempengaruhi ketahanan pangan, termasuk di Riau. Selain El Nino, fenomena gelombang panas juga menjadi perhatian publik.
Kepala Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) II Pekanbaru Ramlan mengatakan, sejak Juni hingga Juli 2023 hampir seluruh wilayah di Provinsi Riau sudah memasuki musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh fenomena El Nino yang juga sudah memasuki kategori lemah hingga sedang.
“Masih sama dengan bulan lalu. Kondisi El Nino saat ini sudah memasuki kategori lemah menuju sedang. Masyarakat harus waspada terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi karena suhu panas yang melanda hampir seluruh wilayah di Provinsi Riau,” tegasnya El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum. Bahkan, berpotensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Riau.
Untuk itu, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal mengingatkan anggotanya untuk menaruh perhatian terkait karhutla di Riau. Hal ini ditegaskan Irjen Iqba saat memimpin serah terima jabatan sejumlah pejabat Polda Riau di Aula Mapolda Riau, Selasa (18/7).
“Saya minta tidak ada karhutla. Kepada para Kapolres, saya minta tidak ada karhutla. Kalau ada karhutla, saya perintahkan jaga agar langit Riau tetap biru. Ada karhutla secepat mungkin lakukan pemadaman, kolaborasi, lakukan penyelidikan, dan tegakkan hukum,” ujar Irjen Iqbal.
Bahkan bila terdapat karhutla skala besar, maka dirinya akan melakukan evaluasi secepatnya terhadap pejabat terkait. Bila perlu dalam hitungan jam, dia akan mengusulkan agar Kapolres terkait diganti. “Kalau ada karhutla skala besar saya evaluasi secepatnya. Bila perlu hitungan jam, tidak mampu menjadi Kapolres saya usulkan diganti,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati setelah rapat menyatakan BMKG memprediksi ancaman El Nino akan mengalami puncak pada Agustus-September. “Diprediksi El Nino ini intensitasnya lemah hingga moderat,” katanya di Komplek Istana Negara, Selasa (18/7).
Dengan kondisi El Nino yang lemah hingga moderat akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan. Selain itu, produktivitas pangan dikhawatirkan akan terganggu.
Untuk menghadapi fenomena El Nino tersebut, pemerintah telah berkoordinasi dan melakukan sejumlah langkah antisipasi sejak Februari sampai April. Koordinasi ini akan terus diperkuat untuk menghadapi El Nino bulan depan. Dwikorita menjelaskan bahwa meskipun saat ini Indonesia sudah masuk musim kemarau. Tetapi potensi terjadinya bencana hidrometeorologi atau banjir itu masih tetap ada.
“Karena wilayah Indonesia ini dipengaruhi oleh dua samudera dan juga topografinya yang bergunung-gunung di khatulistiwa, masih tetap ada kemungkinan satu wilayah mengalami kekeringan, tetangganya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi,” ucapnya. Ini berarti tidak serempak kering. “Ada di sela-sela itu yang juga mengalami bencana hidrometeorologi basah,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah melalui BMKG mengimbau masyarakat untuk melakukan sejumlah hal dalam menghadapi fenomena iklim El Nino. Langkah-langkah tersebut antara lain terus menjaga lingkungan, mengatur tata kelola air, hingga beradaptasi terhadap pola tanam. “Juga terus memonitor perkembangan informasi cuaca dan iklim yang sangat dinamis dari waktu ke waktu dari BMKG,” pintanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menerangkan, gelombang panas yang tengah melanda sejumlah negara di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian Asia terjadi karena posisi semu matahari saat ini sedang berada di wilayah belahan bumi utara. Yakni sekitar 21 derajat 03 lintang utara dan longitude 60 derajat 04 bujur timur. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah belahan bumi utara sedang berlangsung puncak musim panas.
“Fenomena gelombang panas ini biasanya terjadi di wilayah lintang menengah-tinggi seperti wilayah Eropa dan Amerika yang dipicu oleh kondisi dinamika atmosfer di lintang menengah. Biasanya terjadi pada periode musim panas seperti saat ini,” jelas Guswanto.
Fenomena gelombang panas tersebut, lanjut Guswanto, dipicu oleh aktifitas dinamika atmosfer di sekitar wilayah lintang menengah yang menyebabkan adanya massa udara hangat yang terperangkap. Gelombang panas cenderung terjadi ketika ada kondisi cuaca yang stabil dan berkepanjangan. Di mana, tidak ada angin yang cukup kuat atau hujan yang dapat membawa pendinginan.
“Keadaan ini dapat menyebabkan suhu udara di suatu daerah terus meningkat selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu,” terang Guswanto.
Menurut World Meteorological Organization, gelombang panas atau dikenal dengan heatwave merupakan fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut. Di mana, suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5 derajat celcius atau lebih.
Dalam beberapa kasus, adanya pola tekanan tinggi atau blokade atmosfer di wilayah tertentu dapat menyebabkan udara panas terperangkap di daerah tersebut. Udara panas yang terperangkap tidak dapat bergerak atau digantikan oleh udara yang lebih dingin, sehingga menyebabkan peningkatan suhu yang berkelanjutan. Sedangkan yang terjadi di wilayah Indonesia adalah fenomena kondisi suhu panas/terik dalam skala variabilitas harian.
“Berdasar data hasil pengamatan BMKG, suhu maksimum terukur selama periode 17 Juli 2023 berkisar antara 35,2 derajat celcius terjadi di wilayah Aceh. Di mana, kondisi tersebut masih cukup normal dengan rentang 34-35 derajat celcius,” ucap Guswanto.
Dikatakan Guswanto, fenomena suhu udara terik yang terjadi pada siang hari tersebut dipicu oleh beberapa hal. Antara lain posisi semu matahari saat ini sudah berada di wilayah utara ekuator yang mengindikasikan bahwa sebagian wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim kemarau. Di mana, tingkat pertumbuhan awan dan fenomena hujannya akan sangat berkurang, sehingga cuaca cerah pada pagi menjelang siang hari akan cukup mendominasi. “Dominasi cuaca yang cerah dan tingkat perawanan yang rendah tersebut dapat mengoptimumkan penerimaan sinar matahari di permukaan Bumi, sehingga menyebabkan kondisi suhu yang dirasakan oleh masyarakat menjadi cukup terik pada siang hari,” ujarnya. Dia menegaskan gelombang panas di wilayah Indonesia sangat sulit terjadi karena sistem dinamika atmosfer pemicu tersebut tidak terjadi di lintang sekitar ekuator seperti Indonesia, yang terjadi adalah suhu panas dalam skala variabilitas harian.(ayi/nda/lyn/gih/das)
Laporan TIM RIAU POS dan JPG, Pekanbaru dan Jakarta