Sejak booming sawit, sawah-sawah dan ladang di Riau banyak yang beralih fungsi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan pemerintah kabupaten/kota di Riau terus mengingatkan masyarakat agar tidak mengalihfungsikan lahan sawah menjadi perkebunan, khususnya kelapa sawit. Kerisauan itu tentu sangat beralasan karena hingga kini pasokan beras sebagai bahan pangan utama masyarakat daerah itu hampir 80 persen dari provinsi tetangga.Padahal, dahulu di beberapa kabupaten di Riau dijuluki sebagai negeri jelapang padi. Akankah ikhtiar itu bisa membalikkan lagi julukan sebagai negeri jelapang padi, hanya waktu yang akan menjawab.
Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru
Walaupun booming sawit menghantui masyarakat di Riau, tapi masih ada sebagian masyarakat yang tidak tergoda melakukan alih fungsi lahan mereka dari sawah menjadi perkebunan kelapa sawit. Mereka tetap setia mengolah dan menanam padi walau kadang hanya mengandalkan air hujan (tadah hujan) sebagai sarana irigasinya.
Seperti yang dilakukan masyarakat Banjar Nan Tigo Desa Nan Ompek Kecamatan Kuantan Hilir, Kuantan Singingi (Kuansing). Di tengah gempuran alih fungsi lahan, mereka tetap setia mengelola sawah-sawahnya dengan cara tradisional. Bahkan, sebelum lahan sawah itu ditanami padi, masyarakat secara bersama melakukan tradisi turun temurun yang mereka sebut dengan Doa Padang atau Doa Turun ke Sawah.
Acara ini merupakan tradisi di masyarakat Kuansing. Biasanya dilakukan sebelum turun ke sawah dengan tujuan meminta kepada sang pencipta agar hasil panen melimpah. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi daerah yang masih dipercaya dan selalu diperingati masyarakat. Selain dipercaya bisa meningkatkan hasil panen juga dipercaya bisa mengusir hama.
Tidak hanya di Kabupaten Kuansing, kegiatan serupa dengan nama yang tentunya berbeda juga dilakukan masyarakat di kabupaten/kota lainnya di Riau. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun dan hingga kini masih terjaga dengan baik. Tentunya ikhtiar ini mereka ikuti dengan penerapan pola tanam dan pemupukan yang baik dan berimbang untuk meningkatkan produksi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau menyebutkan, berdasarkan hasil survei KSA, puncak panen padi pada 2023 mengalami pergerseran dibanding 2022. Puncak panen padi 2023 terjadi pada bulan Februari dengan luasan mencapai 8,68 ribu hektare, sementara puncak panen 2022 terjadi pada bulan Maret dengan luasan mencapai 10,72 ribu hektare.
Realisasi panen padi sepanjang Januari-September 2023 sebesar 41,33 ribu hektare atau mengalami peningkatan sekitar 1,90 ribu hektare (4,82 persen) dibandingkan Januari-September 2022 yang mencapai 39,43 ribu hektare. Sementara itu, potensi luas panen padi pada Oktober-Desember 2023 diperkirakan sekitar 10,49 ribu hektare.
Dengan demikian, total luas panen padi pada 2023 diperkirakan sebesar 51,82 ribu hektare, atau mengalami peningkatan sekitar 767 hektare (1,50 persen) dibandingkan luas panen padi pada 2022 yang sebesar hektare.
Produksi padi di Provinsi Riau sepanjang Januari-September 2023 diperkirakan sebesar 164,09 ton Gabah Kering Giling (GKG), atau mengalami penurunan sekitar 1.53 ribu ton GKG (0,92 persen) dibandingkan Januari-September 2022 yang sebesar 165,62 ribu ton GKG.
Sementara itu, berdasarkan amatan fase tumbuh padi hasil Survei KSA September 2023, potensi produksi padi sepanjang Oktober-Desember 2023 ialah sebesar 45,10 ribu ton GKG.
Dengan demikian, total produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 209,19 ibu ton GKG, atau mengalami penurunan sebanyak 4,37 ribu ton GKG (2,04 persen) dibandingkan 2022 yang sebesar 213,56 ribu ton GKG. Produksi padi tertinggi pada 2023 terjadi di bulan Februari yaitu sebesar 32,46 ribu ton GKG, sementara produksi padi terendah terjadi di bulan Agustus yaitu sebesar 9,62 ribu ton GKG.
Berbeda dengan kondisi 2023, produksi padi tertinggi pada 2022 terjadi pada bulan Maret. Tiga kabupaten/kota dengan total produksi padi (GKG) tertinggi pada 2023 adalah Kabupaten Indragiri Hlir, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Siak. Sementara itu, tiga kabupaten/kota dengan produksi padi terendah yaitu Kabupaten Rokan Hulu, Kota Dumai, dan Kabupaten Indragiri Hulu.
Tingkatkan Produksi Padi di Riau
Gubernur Riau H Edy Natar Nasution mencanangkan gerakan daerah dalam rangka penyediaan pangan melalui program ekstra peningkatan produksi padi di Provinsi Riau. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan Riau dengan daerah lain dalam hal pemenuhan bahan pokok.
“Karena ini merupakan gerakan daerah, maka kami meluncurkan program ekstra yang langsung kami mulai dari sekarang, dengan target sasaran dengan harapan mulai menampakkan hasil berupa peningkatan produksi padi pada tahun 2024 dan juga berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya,” katanya.
Ia menyampaikan, dengan mengacu data BPS sesuai angka tetap tahun 2022 dan angka sementara 2023, produksi beras Riau sekitar 213 ribu ton, di mana Riau baru dapat memenuhi kebutuhan beras sekitar 25 persen dari produksi sendiri. Sementara itu target pada akhir periode RPJMD (tahun 2024) harus bisa mencapai 50 persen.
“Dengan sisa waktu ini, memang sulit bagi kami mencapai target sasaran sebesar itu, namun demikian, justru kita harus bertindak cepat dengan melaksanakan program ekstra, terutama dalam bentuk gerakan daerah secara bersama-sama,” tambahnya.
Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah strategis guna mengatasi akar permasalahan mengapa saat ini Provinsi Riau sulit mencapai target produksi pangan khususnya padi yang menghasilkan beras.
“Setelah kami cermati di lapangan dengan Dinas Pangan Tanaman Pangan dan Hortikultura, permasalahan dan kendala utama kita adalah keterbatasan infrastruktur pertanian, yaitu fungsi sistem irigasi yang belum memadai. Ketersediaan air merupakan faktor terpenting bagi para petani untuk menjaga produksi terutama melalui skenario teknis peningkatan Indeks Pertanaman (IP) padi. Kita harus mampu menanam minimal dua kali setahun, sehingga ketersediaan air adalah kuncinya, sementara, saat ini fungsi jaringan irigasi di Provinsi Riau masih belum optimal, bahkan hanya tiga puluh persen yang berfungsi dengan baik dan mungkin malah di bawah itu,” katanya.
Menurut gubernur, ia akan memfokuskan penanganan permasalahan tersebut bersama-sama dengan kabupaten/kota di Provinsi Riau terutama yang merupakan sentra atau klaster produksi padi.
“Riau memiliki luas baku sawah sekitar 62 ribu hektare dengan puluhan klaster atau sentra. Paling luas sawah kita ada di Kabupaten Indragiri Hilir, kemudian Rokan Hilir, Pelalawan, Siak dan diikuti kabupaten/kota lainnya. Petani akan menanam padi jika air tersedia sepanjang tahun. Maka, kita harus melakukan terobosan,” tegasnya.
“Karakteristik sawah di Provinsi Riau memang agak berbeda dengan Provinsi lain. Banyak yang tersebar dengan berbagai luasan tertentu. Maka penanganan irigasinya tentu juga spesifik dan berbeda jika dibanding dengan kawasan dalam bentuk hamparan sentra yang luas,” sambungnya.
Bahkan gubernur telah memerintahkan Sekretaris Daerah Provinsi Riau beserta OPD terkait, untuk mempersiapkan langkah-langkah pengembangan model irigasi tersebut, dengan melakukan refocusing anggaran guna pembiayaannya mulai awal tahun 2024.
“Pak Sekda dan Dinas serta satker terkait termasuk Balai yang merupakan instansi vertikal, sedang mempersiapkan itu semua. Kami akan memfokuskan sumber-sumber anggaran untuk program ini. Bisa melalui skema penganggaran di Dinas PUPR Provinsi, Bantuan Keuangan untuk Kabupaten/Kota, Dinas Pangan, OPD lainnya, instansi vertikal, atau mungkin dengan skema pembiayaan Bantuan Keuangan Khusus bagi desa-desa yang kita berikan,” terangnya.
Dukung Program Pemerintah
VP Penjualan Wilayah I PT Pupuk Indonesia (Persero) Wawan Arjuna mengungkapkan, sebagai BUMN, Pupuk Indonesia akan mendukung program pemerintah di bidang ketahanan pangan nasional, dalam hal ini melalui penyediaan pupuk dan pelayanan kepada petani.
Selain kewajiban penyediaan pupuk bersubsidi sesuai alokasi pemerintah, Pupuk Indonesia juga memiliki program lain untuk menunjang produktivitas pertanian di Provinsi Riau, yaitu
Program Makmur, yaitu ekosistem pertanian yang mendukung petani dari hulu hingga hilir, sehingga proses budidaya maupun pemasaran hasil pertanian berjalan optimal.
Melalui Program Makmur, petani memiliki kemudahan akses pada tiga hal yakni akses teknologi, akses permodalan dan akses pasar.
“Program Ritel, yaitu program untuk memudahkan petani memenuhi kebutuhan pertaniannya sekaligus memudahkan akses petani terhadap produk-produk pertanian Pupuk Indonesia Group melalui penguatan kemitraan dengan distributor dan kios,” ujarnya.
Dia menambahkan, berdasarkan data e-alokasi pemerintah, alokasi pupuk bersubsidi di Provinsi Riau pada tahun 2023 berjumlah 12.321 ton dengan rincian pupuk Urea sebesar 6.325 dan pupuk NPK sebesar 5.995. Sebagai BUMN, tugas Pupuk Indonesia adalah menyalurkan sesuai dengan alokasi yang ditetapkan pemerintah. Berikut rinciannya:
Terkait keluhan petani terhadap harga jual pupuk yang mahal bahkan sampai terjadi kelangkaan, dia mengatakan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, pemerintah memfokuskan subsidi pada dua jenis pupuk, yaitu Urea dan NPK. Kedua pupuk bersubsidi ini difokuskan pada sembilan komoditas strategis yang berdampak terhadap inflasi, yaitu padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu, dan kakao Selain itu, petani juga perlu memperhatikan alokasinya apakah masih tersedia atau tidak. Seringkali petani belum terdaftar atau alokasinya habis, sehingga muncul istilah pupuk langka.
Untuk pupuk nonsubsidi harganya sedikit lebih mahal. Karena harga pupuk komersial sangat berpengaruh terhadap harga komoditas global seperti harga gas bumi, fosfat, kalium, dan sebagainya.
“Sebagai antisipasi, Pupuk Indonesia mengajak petani untuk bergabung ekosistem Program Makmur, di mana petani diajak untuk menggunakan pupuk nonsubsidi, namun dengan bimbingan lengkap dari hulu hingga hilir, maka petani dapat meningkatkan produktivitas pertanian, sehingga memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan bisa mengakses pupuk nonsubsidi,” ujarnya.
Meningkatkan Tata Kelola
Pupuk Indonesia, tambahnya lagi, bersama Kementerian Pertanian terus meningkatkan tata kelola pupuk bersubsidi. Salah satunya melalui uji coba digitalisasi kios dengan aplikasi iPubers. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan memudahkan pemilik kios dan petani dalam penebusan pupuk bersubsidi.
“Riau adalah salah satu provinsi di mana seluruh kios resmi Pupuk Indonesia telah menggunakan aplikasi iPubers sejak Juni 2023,” ujarnya.
Dalam aplikasi iPubers sudah terdapat data petani yang terdaftar dalam e-Alokasi milik Kementan. Petani cukup datang ke kios membawa KTP untuk dipindai NIK-nya guna mengakses data pada e-Alokasi.
Selanjutnya, kios akan menginput jumlah transaksi dan petani menandatangani secara digital pada aplikasi iPubers. “Apabila KTP tidak sesuai, maka petani harus melengkapinya dengan Surat Keterangan dari pemerintah desa atau kelurahan. Setiap transaksi akan tercatat lokasi dan waktunya secara digital dan realtime, sehingga akan memudahkan pengawasan,” tuturnya lagi.
Dengan demikian, aplikasi iPubers dapat memastikan penyaluran pupuk bersubsidi tepat sasaran, yaitu kepada petani yang berhak sesuai ketentuan dalam Permentan Nomor 10 Tahun 2022.
Menjawab tentang ada tidaknya terjadinya penyelewengan pupuk subsidi di Riau? Wawan Arjunamengatakan, sebagai produsen, Pupuk Indonesia bersama pemerintah terus meningkatkan tata kelola pupuk bersubsidi. Salah satunya melalui teknologi digital, dimana proses distribusinya dapat dipantau secara realtime.
Sehingga memudahkan pengawasan dari gudang produsen sampai proses penebusan pupuk bersubsidi oleh petani di tingkat kios. “Rantai pasok dari gudang produsen sampai ke kios ini adalah tanggungjawab pengawasan dari Pupuk Indonesia. Sementara apabila pupuk bersubsidi sudah ditebus oleh petani di tingkat kios, maka pengawasan berikutnya adalah wewenang dari pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) setempat,” ujarnya.
Pupuk Indonesia bersama Dinas PTPH dan Dinas Perkebunan Provinsi Riau sudah menjalin komunikasi yang sangat baik terkait distribusi pupuk bersubsidi. “Pada kesempatan ini, kami berharap kolaborasi antara Dinas PTPH, Dinas Perkebunan, dan Pupuk Indonesia dapat ditingkatkan, khususnya terkait input E-RDKK untuk petani kebun. Kemudian kami juga berharap dapat bersama-sama membangun komunikasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) agar proses pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi untuk petani menjadi jauh lebih baik,” ungkapnya lagi.
Untuk meningkatkan keterjangkauan pupuk di Riau, Pupuk Indonesia tentunya menyediakan pupuk bersubsidi sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh Pemprov Riau. Selanjutnya, Pupuk Indonesia juga menyediakan pupuk nonsubsidi melalui berbagai kios-kios komersial yang saat ini telah tersedia pada sejumlah wilayah di Provinsi Riau seperti di Kota Pekanbaru, Kabupaten Kuantan Senggigi, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan sebagainya.
Terkait lahan pertanian di Riau yang mayoritas gambut, dia mengatakan, lahan gambut biasanya memiliki kadar pH tanah rendah atau bersifat asam, sehingga kurang baik bagi tanaman. Selain itu, lahan gambut juga memiliki kandungan unsur hara yang rendah.
Untuk menyiasatinya, maka perlu menaikkan kadar pH tanah, misalnya dengan memberikan kapur pertanian, dolomit, atau kieserite, agar pH medekati atau menjadi Netral (6-7) sehingga menjadi baik bagi pertumbuhan tanaman.
Selanjutnya, untuk meningkatkan kandungan unsur hara dapat dilakuakan melalui proses pemupukan, supaya tanaman mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. “Karena sifat lahan gambut yang mudah kehilangan unsur hara, maka secara umum pemupukan dianjurkan untuk dilakukan secara bertahap dan dengan takaran yang rendah atau dengan aplikasi pupuk yang lepas-lambat (slow release),” tutupnya.***