Puluhan Seniman dan Budayawan Riau Tolak Penggusuran Kampung Melayu Rempang

Riau | Jumat, 15 September 2023 - 21:45 WIB

Puluhan Seniman dan Budayawan Riau Tolak Penggusuran Kampung Melayu Rempang
Tokoh Riau Hj Azlaini Agus orasi budaya pada malam Solidaritas Pulau Rempang Panggung Seni dan Budaya di Laman Bujang Mat Syam Bandar Seni Raja Alai Haji, Pekanbaru, Jumat (15/9/2023). (MHD AKHWAN/RIAUPOS.CO)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Puluhan seniman, budayawan dan pegiat lingkungan Provinsi Riau berkumpul di halaman Bandar Seni Raja Ali Haji (Serai) Kota Pekanbaru Jumat (15/9/2023) malam.

Mereka menggelar aksi dan menyatakan sikap terhadap upaya relokasi, layaknya penggusuran, yang kini sedang berlangsung di Pula Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau.


Sebagai saudara, masyarakat Melayu Riau dan Kepulauan Riau bagai kakak adik yang tidak terpisahkan. Hal ini menjadi pandangan umum pada aksi yang dimulai dengan pembacaan doa bagi masyarakat Melayu Rempang dan Galang.

Di antara puluhan seniman, budayawan dan pegiat lingkungan malam tadi, terlihat hadir tokoh masyarakat Riau, Azlaini Agus. Mereka yang hadir duduk bersila tepat di  depan Anjungan Seni Idrus Tintin. Sejumlah personel Polsek Bukit Raya Polresta Pekanbaru dan para Laskar Melayu Bersatu juga terlihat memantau pelaksanaan acara.

Usai dibuka doa, puisi karya Presiden Penyair Indonesia Sutarjdi Calzoum Bachri ''Tanah Air Mata'' dikumandangkan. Puisi yang menggambarkan rasa sakit, penderitaan dan perjuangan tentang tanah air ini dibawakan Rumah Sunting secara teaterikal.

Selain para seniman, dua organisasi nirlaba  bidang lingkungan terkemuka, Jaringan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau terlibat aktif dan ambil bagian pada aksi solidaritas untuk masyarakat Rempang dan Galang ini. Puluhan masyarakat yang hadir dipertontonkan film dokumenter tentang Rempang dan Galang.

Koordinator Media dan Hukum Walhi Riau Ahlul Fadhli menjelaskan, luas Pulau Rempang yang kurang lebih 165 km persegi masuk kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar.

Solidaritas ini menekankan penolakan masyarakat Rempang dan Galang tidak hanya dari sisi lingkungan, tapi juga dari aspek sosial dan budaya. Proses pembangunan, penyelesaian dengan cara-cara tak manusiawi adalah kemunduran.

''Aksi malam ini merupakan aksi solidaritas sekaligus pernyataan sikap para seniman, budayawan dan tokoh masyarakat Riau bersama organisasi masyarakat sipil, bahwa kami menolak relokasi masyarakat dari sejumlah perkampungan tua di Pulau Rempang dan Galang,'' kata Ahlul.

Walhi Riau memperkirakan 13.000 sampai dengan 20.000 jiwa dari 16 kampung menjadi korban relokasi. Investasi skala besar memperparah risiko bencana dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat di dua pulau yang disebut-sebut sebagai tempat pertama masyarakat Melayu di Batam, Rempang dan Galang (Barelang) bermukim.

''Kita membutuhkan pembangunan, namun, membangun dengan menindas tak akan membawa kita ke mana-mana. Negara seringkali gagal mengintegrasikan kewajiban mereka untuk melindungi hak-hak dasar manusia dengan kewajiban mereka untuk melakukan pembangunan. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 H Ayat 1 jelas menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan,'' sebut Ahlul.

Berdasarkan catatan Walhi Riau dan Jikalahari, Pulau Rempang juga memiliki beberapa cagar budaya yang merupakan peninggalan sejarah. Di Desa Sembulang, terdapat peninggalan sejarah, seperti makam, benteng, dan monumen. Cagar budaya di Pulau Rempang merupakan bukti sejarah keberadaan masyarakat Melayu di Pulau Rempang.

Solidaritas ini, cagar budaya tersebut perlu dilestarikan agar dapat menjadi warisan bagi generasi mendatang. Identitas seni dan budaya perlu dipertahankan sebagai bentuk eksistensi masyarakat sejak lama menetap di sana.

Solidaritas ini juga menyatakan sikap, apabila sebuah aktivitas yang mencederai keadilan bagi masyarakat dan melanggar hak-hak asasi manusia masih boleh mengatasnamakan pembangunan, sesungguhnya negara terjebak dalam paradigma pembangunan yang usang. Bahwa pembangunan itu, tidak dilakukan dengan hanya menyusun beton-beton atau menghisap sumber daya alam. Pembangunan harus ditata di atas komitmen negara untuk menghargai kemanusiaan.

''Jangan biarkan, saudara-saudara kita yang di Pulau Rempang terancam untuk hidup aman dan tidak menikmati lingkungan yang baik dan tidak berkeadilan,'' tutup Ahlul menegaskan pernyataan sikap bersama tersebut.

Sementara itu, Azlaini Agus memperkuat pernyataan bahwa masyarakat Melayu Galang yang bermukim di Pulau Rempang dan Galang adalah perkampungan tua di Kepulauan Riau. Seperti tercatat dalam sejarah dan juga disebut dalam buku Tufat Annafis karangan Raja Ali Haji, eksistensi mereka telah tercatat sejak 1720 pada masa pemerintahan Sulaiman Badrul Alam Syah I, Sultan Kesultanan Johor-Riau.

''Kalau masyarakat Rempang melawan hari ini tidak usah heran, darah Laskar mengalir  di darah mereka. Mereka merupakan Laskar Kesultanan Johor-Riau-Lingga pada Perang Riau I (1782-1784, red). Mereka merupakan Laskar di bawah komando Raja Haji Fisabilillah,'' kata Azlaini.

Berdasarkan kronoligi Tufat Annafis, Raja Haji Fisabillah yang saat itu merupakan Putra Mahkota sekaligus Panglima Laut atau Laksamana Kesultanan Johor-Riau berhasil mengusir VOC yang mencoba menduduki Bintan. Bangsawan Melayu-Bugis yang dilahirkan di Bintan itu kemudian mati syahid saat menyerbu Melaka, basis VOC di Selat Melaka, pada penghujung Perang Riau I.

Namun para Laskar Melayu Galang tetap bertahan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang. Mereka kembali terlibat pada Perang Riau II yang berkecamuk pada tahun 1784-1787. Bahkan ketika Bintan jatuh hingga pusat kesultanan pindah ke Lingga, kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Johor-Riau-Lingga, masyarakat Melayu Galang tetap bertahan disana hingga hari ini.

''Mereka adalah Laskar pemberani dan setia Sultan Mahmud Riayat Syah pada Perang Riau II. Bahkan ketika Kesultanan Riau Lingga pindah dari Bintan ke Daik, Lingga, mereka tetap bertahanan di tiga pulau itu sebagai gugus pertahanan. Mereka menjadi Laskar pertahanan yang kuat dan pemberani, yang membuat Kesultanan Riau-Lingga tidak pernah jatuh. Karena bagi orang Melayu, jika marwahnya terjajah, lebih baik mati berdiri pada hidup bertekuk lutut,'' tegas Azlaini.

Pernyataan Azlaini selaras dengan catatan sejarah bahwa Kesultanan Riau-Lingga baru berakhir pada 1913 ketika kekuasaan Sultan hanya sebatas Lingga dan Penyengat. Sementara Johor lepas akibat efek dari perkongsian Belanda dan Inggris yang membagi-bagi tanah Melayu. Dimana Malaka, Pahang, lalu Johor yang berbasis di Singapura hari ini, berada di tangan Inggris. Sementara Riau sepenuhnya berada dibawah Kerajaan Belanda.

Perang Riau, terutama Perang Riau I, berdasarkan catatan sejumlah literatur Belanda, merupakan perang laut terbesar terakhir VOC. Perusahaan swasta Belanda itu sendiri bubar pada 1799.

''Masyarakat Melayu Galang tidak menolak investasi jika itu akan membuat negeri ini sejahtera. Yang mereka tolak adalah mereka di relokasi, mereka dipaksa tinggalkan kampung halaman untuk masa depan yang masih tanda tanya besar,'' tutup Azlaini.

Laporan: Hendrawan Kariman (Pekanbaru)
Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook