Insiden Pulau Rempang pada 7 September 2023 menyebabkan bentrokan antara warga tempatan dengan pihak aparat pun tidak dapat dihindari. Konflik dilatar belakangi rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) kawasan Rempang Eco City. Kisruh relokasi tersebut telah membuka wawasan yang lebih tinggi akan pentingnya menghargai budaya.
Menurut Elmustian Rahman (2022) dalam Riau adalah Tanah Air Kebudayaan Melayu, arti penting kebudayaan sebagai pedoman dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan pergaulan akan dapat terwujud dengan usaha memajukan kebudayaan bangsa tersebut. Perwujudan kebudayaan yang abstrak dapat dikejawantahkan dalam kehidupan yang selaras dengan semesta sebagai kepatuhan kolektif dari individu.
Selanjutnya, Elmustian Rahman (2022) dalam tulisan ilmiah yang sama menyatakan untuk mencapai puncak kejayaan suatu bangsa, maka perlu adanya pengembangan kebudayaan yang dinamis dengan mewujudkan kreativitas. Pada dasarnya bahwa kebudayaan memiliki perwujudan ide, kreativitas dan artefak.
Kebudayaan Melayu adalah kebudayaan yang erat melekat pada jiwa raga bangsa sejak dulu dan merupakan bagian kebudayaan Nusanatara. Manusia sebagai mahluk sosial yang berbudaya mampu menciptakan beragam benda seni yang terpola dari perilaku untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat.
Pulau Rempang bukanlah tanah kosong atau suatu daerah yang tidak berpenghuni. Bahkan terdapat setidaknya 16 Kampung Melayu Tua yag sudah ada sejak ratusan tahun silam atau sekitar tahun 1834. Terdapat berbagai aspek budaya Melayu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat seperti seni, bahasa, adat istiadat, tatanan kehidupan, kuliner, dan mata pencaharian. Tapak Lapan merupakan kearifan lokal warisan nenek moyang masyarakat Melayu yang berkaitan dengan mata pencaharian. Nilai-nilai Islam terlihat dengan jelas dalam berbagai aspek budaya Melayu.
Budaya Melayu pada diri orang Melayu yang hakikatnya hidup bersahabat dengan alam lingkungan. Alam bukan sekadar untuk mencari nafkah tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaan.
Dengan kesadaran akan pentingnya alam dalam kehidupan sehingga orang Melayu berusaha untuk menjaga, merawat dan memelihara kelestarian serta keseimbangan alam lingkungan. Dalam adat istiadat yang tertoreh pada kebudayaan telat ditetapkan “Pantang Larang” yang berkaitan dengan pemeliharaan, pemanfaatan dan pelestarian alam. Orang Melayu jujur dalam ucapan dan berperilaku serta setia dalam janji sebagai cerminan dalam petuah amanah. Seperti yang juga dijelaskan oleh Firdaus L.N (2021) dalam Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Bahari Nusantara bahwa amanah Budaya Melayu adalah nilai sebuah ketaatan dan kesetiaan terhadap sumpah, janji dan tanggung jawab yang dipercayakan.
Pulau Rempang memiliki cagar budaya yang merupakan bentuk peninggalan sejarah dan merupakan bukti akan keberadaan masyarakat Melayu. Berdirinya sebuah Monumen zaman penjajahan Jepang yang bernama Minamisebo tahun 1981 sebagai penanda serdadu Jepang gugur dan kalah dari sekutu saat menduduki Pulau Rempang tahun 1945.
Adanya Makam leluhur membuktikan bahwa Pulau Rempang telah dihuni oleh warga yang hidup dalam kebudayaan. Jejak budaya juga terlihat pada Benteng Penyengat yang dibangun oleh Raja Ali Haji di abad ke- 18 sebagai situs bersejarah yang kaya akan cerita dan arsitektur yang menakjubkan.
Pulau Rempang berada di Kecamatan Galang dan termasuk ke dalam Kepulauan Riau adalah negeri yang menunjung tinggi nilai, adab dan norma kehidupan bermasyarakat. Nilai yang tertuang dalam kebudayaan menjadi adab dalam bertindak dan membentuk norma yang mengkontrol diri. Masyarakat Melayu Pulau Rempang berpegang teguh pada ajaran agama dan hidup berdampingan bersama alam. Dalam suatu ungkapan dikatakan bahwa: Kalau tidak ada laut, hampalah perut, Bila tak ada hutan, binasalah badan, Kalau binasa hutan yang lebat, rusak lembaga hilanglah adat.
Pulau Rempang dalam kebudayaan Melayu yang tersirat dan disemboyankan dengan Berpancang Amanah Bersauh Marwah, tetap menjaga jati diri sebagai orang Melayu. Makna dari “Berpancang Amanah” adalah menunjukkan sifat teguh dalam mempertahankan Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah guna mencapai pribadi Melayu yang berahlak mulia serta berbudi pekerti. “Bersauh Marwah” berarti bahwa menjaga adat dan budaya untuk menata masa depan yang lebih baik dalam menuju cita-cita luhur guna mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat.
Dengan mengangkat martabat orang Melayu dan tidak mengabaikan perjuangan orang Melayu maka kebudayaan Melayu tak akan hilang. Seperti tutur sumpah Hang Tuah, sang Legenda Melayu: “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi”.
Pulau Rempang dengan kearifan lokal berteraskan Melayu menjadi warisan budaya Nusantara yang dibanggakan. Tenas Effendy, Budayawan Riau dalam “Tunjuk Ajar Melayu (TAM)” menjelaskan bahwa perihal yang menunjukkan karakter peduli lingkungan terdapat dalam butir,“Petuah Amanah Alam Lingkungan”.
Memegang adat adalah Alam dijaga, Petuah diingat, Pantang merusak hutan dan tanah. Memegang amanat adalah terhadap Alam berhemat cermat, menjaga Alam maka alam hatinya kokoh. Pulau Rempang dengan budaya petuah amanahnya mengukuhkan santun dan adab dalam pergaulan. Insiden tidak akan terjadi jika budaya damai ada dalam hati.
Konflik tidak akan ada apabila alam dan agraria terjaga. Melayu kuat berpijak pada budaya Tapak Lapan. Melayu tetap setia dalam amanah dan beradab dalam marwah jika budaya dijunjung tinggi. Tak Melayu hilang di bumi dan Bumi Bertuah Negeri beradat. Berpegang teguh dalam Berpancang Amanah Bersauh Marwah menjadikan Pulau Rempang semakin kokoh dalam kebudayaan.***