Beberapa pekan ini media digemparkan oleh pemberitaan proyek Eco City yang menimpa masyarakat bumi Melayu Pulau Rempang. Menariknya, konflik ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada di bumi Melayu Rempang saja, tetapi juga dirasakan oleh khalayak ramai.
Konflik yang menimpa bumi Melayu Rempang ini membuat pemerintah, akademisi, ahli hukum, politikus, dan bahkan masyarakat awam ikut membicarakan dari berbagai aspek. Kalau dilihat dari aspek nilai-nilai Pancasila, penulis berpendapat bahwa konflik yang terjadi ini tidak mencerminkan nilai Pancasila, salah satunya sila ketiga: “Kemanusiaan yang adil dan Beradap”.
Padahal kita semua mengetahui bahwasanya Pancasila itu merupakan ideologi atau dasar negara yang tidak boleh dilanggar. Namun konflik yang terjadi di bumi Melayu Pulau Rempang tersebut telah mencederai nilai-nilai Pancasila.
Terkait konflik bumi Melayu Rempang, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukum) Mahfud MD mengatakan peristiwa di bumi Melayu Rempang bukan penggusuran tetapi pengosongan lahan oleh pihak yang berhak.
Mahfud mangatakan, negara telah memberikan hak atas bumi Melayu Rempang kepada entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa hak guna usaha (HGU). Namun saat itu belum pernah digarap dan dikunjungi oleh investor.
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa warga yang menempati bumi Melayu Pulau Rempang tidak memiliki sertifikat kerena semua kepemilikan ada di bawah otoritas Batam.
Pernyataan Mahfud dibantah oleh mantan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dia menjelaskan sebagian warga sudah berada di bumi Melayu Rempang sejak 1834 dan Rempang merupakan tanah leluhur mereka.
Ia menyarankan bahwa proyek Rempang dihentikan terlebih dahulu. Taufan menilai perkara ini mestinya diselesaikan secara musyawarah dengan warga untuk mencari solusi bersama.
Ditinjau dari aspek hukum, konflik bumi Melayu Rempang ini menimbulkan banyak pertanyaan bahkan menuai pro dan kontra di masyarakat. Dilihat dari tujuan hukum bahwa hukum memiliki tiga tujuan utama. Pertama, keadilan, kedua kepastian, ketiga kemanfaatan. Yang menjadi tanda tanya besar adalah “Mungkinkah dalam penyelesaian konflik ini nantinya akan memuat ketiga unsur tujuan hukum tersebut?!.(fiz/c)