Implementasi Program Kerja Tertunda
Gubernur dan Wakil Gubernur Riau Syamsuar-Edy telah merencanakan program kerja selama 100 hari ke depan. Namun rencana tersebut agaknya sedikit tertunda. Karena program yang dibuat tidak masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau tahun 2019. Sehingga baru bisa direncanakan kembali pada APBD Perubahan mendatang.
Hal itu disampaikan Tim Akademisi dan Perencanaan Wilayah Kota Universitas Islam Riau (UIR) sekaligus anggota tim transisi Syam-Edy, Mardianto Manan. Ia menuturkan, dalam sebuah program kerja pemerintahan diperlukan 3 hal. Pertama, perencanaan. Kedua, implementasi. Dan ketiga, pengawasan. “Tim transisi sudah membuat perencanaan dari program kerja Pak Syam dan Pak Edy untuk dimasukkan ke dalam APBD 2019,” sebut Mardianto kepada Riau Pos, Selasa (19/2).
Akademisi asal Kuantan Singingi itu menyebut, perencanaan awal itulah yang tidak masuk ke dalam APBD 2019. Sehingga Syamsuar-Edy harus mempersiapkan kembali untuk dimasukkan pada APBD Perubahan 2019. Yang diperkirakan baru bisa digarap pada Mei hingga Juni 2019. Artinya, kata dia, ada sedikit keterlambatan bagi Syamsuar-Edy untuk mewujudkan visi dan misinya.
Saat ditanya apakah akan berdampak pada 5 tahun masa jabatan Syamsuar-Edy, ahli tata kota itu mengaku optimis, mantan Bupati Siak itu dapat mengendalikan programnya dengan baik. Hanya saja memang ada waktu mulai yang sedikit tertunda.”Saya yakin tidak akan berdampak hingga 5 tahun yang akan datang. Karena saya yakin Pak Syam dan Pak Edy bisa segera menyesuaikan,” paparnya.
Adapun beberapa perencanaan awal yang ia maksud berupa detail engineering design (DED) serta master plan sebagai tapak awal. Terutama untuk program yang telah dibahas pasangan Syam-Edy sewaktu berkampanye pada tahun 2018 lalu. Ia juga memaparkan beberapa contoh program kerja yang sudah dimatangkan. Seperti pembangunan Quran Center, penyediaan sekolah gratis dan wajib belajar 12 tahun, penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat hingga pembangunan infrastruktur.
“Pembangunan Quran Center tentu perlu DED. Begitu juga dengan penyediaan fasilitas kesehatan kerja. Pak Syam dalam visi-misinya tidak ingin ada masyarakat yang harus ditolak rumah sakit karena penuh atau bahkan karena tidak ada uang. Ini semua tentu perlu kajian. Landasan awal yang mestinya dibuat pada awal menjabat. Sehingga 2020 semuanya bisa diimplementasikan,” tukasnya.
Dengan kondisi saat ini, dirinya memperkirakan implementasi program Syamsuar-Edy baru bisa efektif berjalan pada 2021. Karena perencanaan awal mesti dimatangkan kembali pada APBD Perubahan 2019 paling cepat dan APBD 2020.
Usulkan Program Lingkungan
Di sisi lain, Koordinator Jikalahari Made Ali mengusulkan program lingkungan masuk ke dalam prioritas 100 hari kerja Syamsuar-Edy. Kata dia, meski ada kebijakan bagus dari gubernur Riau, itu hanya di atas kertas. Di lapangan, banjir dan karhutla terus menghantam warga dan berimbas kepada kesejahteraan masyarakat. Usulan pertama, Jikalahari dikatakan Made meminta agar Syamsuar-Edy kembali mereview Perda No.10/ 2018 tentang RTRWP Riau 2018-2038. Karena, RTRWP Riau mengabaikan KLHS dari KLHK sebagai wujud menghentikan karhutla dan banjir dan ruang untuk masyarakat adat dan tempatan porsinya lebih kecil dibanding korporasi.
“Korporasi porsinya 90 persen dibanding ruang kelola masyarakat dan konservasi hanya 10 persen,” kata Made terpisah.
Selain perda di atas, dirinya juga meminta agar pemimpin Riau yang baru, agar mereview Peraturan Gubernur (Pergub) No.5/ 2015 tentang rencana aksi pencegahan karhutla. Di mana isi dari Pergub tidak pernah dilaksanakan oleh gubernur sebelumnya. Sejalan dengan Pergub 5/2015, Syamsuar juga diminta mereview 19 rencana aksi GNPSDA KPK tahun 2015 yang tidak dijalankan juga oleh Gubernur sebelumnya.
“Poin-poin penting 19 rencana aksi tersebut dikolaborasikan dengan SK Gubernur No 390/V/2018 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Korupsi Terintegrasi 2018-2019. GNPSDA yang diinisiasi oleh KPK ini bagian dari perbaikan hulu krisis lingkungan hidup dan kehutanan di Riau, yang perlu jadi agenda prioritas Gubernur Syamsuar,” tambahnya.
Pihaknya juga mengusulkan agar Gubri dan Wagubri yang baru membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang bertugas menyelesaikan dan memperbaiki krisis lingkungan hidup dan kehutanan yang berdampak pada banjir dan karhutla yang merugikan kehidupan masyarakat Riau. Fokus utamanya adalah mempercepat GNPSDA KPK berupa penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, wilayah kelola masyarakat, penyelesaian konflik dalam kawasan hutan, penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan serta membangun sistem pengendalian anti korupsi.
“Merumuskan konsep Riau Hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas. Salah satu Visi Misi Syamsuar menjadikan Riau Hijau. Konsep Riau Hijau replikasi dari Siak Kabupaten Hijau yang dicetuskan oleh Syamsuar sewaktu menjadi Bupati Siak,” tambahnya.
Dirinya juga mendesak agar Syamsuar-Edy mempercepat capaian reforma agraria berupa perhutanan sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Karena menurut pandangan Jikalahari, Gubernur sebelumnya tidak serius mendukung reforma agraria. Data yang dimiliki Jikalahari hingga 2018 capaian PS baru terealisasi 88.009 hektare dari 1,42 juta hektare di Riau.
TORA dialokasikan 445.521 hektare, namun belum ada yang terealisasi. Reforma agraria dikatakan dia, setidaknya bisa menghentikan ekspansi korporasi HTI dan sawit menguasai lahan, juga wujud mengurangi konflik lahan. Luasan TORA dan PS dapat bertambah bergantung pada kebijakan dan keberanian Gubernur menyasar mereview areal korporasi HTI dan sawit.(fat/sol/nda/lim)