“Berkas perkara kita kembalikan ke penyidik dengan petunjuk yang harus dilengkapi,” ungkap Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas Kejati Riau, Muspidauan, Ahad (1/7) siang.
Selanjutnya, penyidik kembali berupaya melengkapi berkas perkara, terutama terkait petunjuk yang diberikan Jaksa. Merasa telah melengkapi, penyidik menyerahkan berkas perkara untuk ditelaah kembali.
“Penyerahan tahap I kedua kalinya itu dilakukan pada pekan kemarin, tepatnya pada 26 Juni 2018 kemarin. Itu untuk kedua tersangka,” ujar Muspidauan.
Mengenai petunjuk yang pernah diberikan Jaksa Peneliti sebelumnya, mantan Kasi Datun Kejari Pekanbaru itu mengatakan, penyidik diminta untuk menambahkan keterangan saksi lain di berkas perkara.
Apakah hal itu telah dipenuhi penyidik pada pengembalian berkas kedua itu, dia mengatakan hal itu akan ditelaah jaksa peneliti lagi. “Jika sudah memenuhi, berkas perkara akan dinyatakan lengkap. Jika belum, tentu akan kita kembalikan lagi,” sebutnya.
Dugaan korupsi ini berawal dari laporan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Proyek milik Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Riau tahun 2013 ini, menghabiskan dana sebesar Rp3.415.618.000. Proyek ini ditengarai tidak sesuai spesifikasi.
Dalam laporan LSM itu, Muhammad, yang saat itu menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau tahun 2013, diduga tidak melaksanakan kewajibannya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek pipa tersebut.
Selain itu, LSM itu juga menyebut nama Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja, dan Edi Mufti BE selaku PPK, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini.
Dalam kontrak pada Rencana Anggaran Belanja (RAB), tertera pekerjaan galian tanah untuk menanam pipa HD PE DLN 500 MM PN 10 dengan volume sepanjang 1.362,00. Ini berarti galian tanah sedalam 1,36 meter dan ditahan dengan skor pipa kayu bakar sebagai cerucuk. Galian seharusnya sepanjang dua kilometer.
Pada lokasi pekerjaan pemasangan pipa, tidak ditemukan galian sama sekali, bahkan pipa dipasang di atas tanah. Selain itu, pada item pekerjaan timbunan bekas galian, juga dipastikan tidak ada pekerjaan timbunan kembali, karena galian tidak pernah ada.
Pekerjaan tersebut dimulai 20 Juni 2013 sampai dengan 16 November 2013, sementara pada akhir Januari 2014 pekerjaan belum selesai. Seharusnya, kontraktor pelaksana PT Panotari Raja diberlakukan denda keterlambatan, pemutusan kontrak, dan pencairan jaminan pelaksanaan.
Anehnya, pihak Dinas PU Riau tidak melakukan denda, tidak memutus kontrak, dan tidak mencairkan jaminan pelaksanaan. Parahnya lagi, Dinas PU Riau merekayasa serah terima pertama pekerjaan atau Provisional Hand Over (PHO) sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan/PHO Nomor: 0/BA.ST-I/FSK.PIPA.TBH.XII/2013 tanggal 13 Desember 2013.
Akibat dari tidak dilakukannya pekerjaan galian tanah, tidak dilakukannya penimbunan kembali galian tanah atau pekerjaan tidak dilaksanakan namun pekerjaan tetap dibayar, negara diduga telah dirugikan Rp700 juta.
Denda keterlambatan 5 persen dari nilai proyek sama dengan Rp170.780.900, dan jaminan pelaksanaan 5 persen dari nilai proyek juga Rp170.780.900. Sehingga diperkirakan total potensi kerugian negara Rp1.041.561.800, lebih kecil dari hasil audit yang telah dikantongi Penyidik, yaitu sebesar Rp2,5 miliar.(dal)