PROVINSI RIAU

Beroperasi di Riau, Pajak Lari ke Luar

Riau | Selasa, 25 Juli 2017 - 11:50 WIB

Beroperasi di Riau, Pajak Lari ke Luar

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) "Banyaknya pabrik kelapa sawit (PKS) beroperasi di Provinsi Riau merupakan potensi besar pemasukan daerah melalui sektor pajak. Namun yang terjadi justru banyak perusahaan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di Bumi Lancang Kuning. Alhasil pajak bagi hasil pun lari ke luar.

Ini diakui Gubernur Riau (Gubri) H Arsyadjuliandi Rachman. Oleh sebab itu dia terus mendorong disiapkannya sebuah regulasi oleh pemerintah pusat. Tujuannya agar perusahaan-perusahaan di Riau yang terkena dampak pembayaran pajak sesuai aturan

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Seperti halnya yang terjadi di TNTN (Taman Nasional Tesso Nilo, red) Pelalawan. Ini kejahatan serius. Dan ini tidak hanya terjadi di TNTN saja. Suaka Margasatwa Bukit Tigapuluh, dan Cagar Biosfer,” ujarnya.

Di Pelalawan sendiri, ujar Suhardiman, banyak PKS berdiri dengan kapasistas produksi 60 ton/jam. Sementara faktanya, PKS tersebut tidak memiliki kebun sama sekali. Oleh karena itu diduga PKS-PKS tersebut menerima pasokan buah dari kawasan ilegal. Seperti di kawasan hutan produksi, HPT dan kawasan terlarang lainnya.

“Ini hanya contoh kecil saja di Pelalawan itu. Mereka tidak punya kebun, terus buahnya dari mana? Kuat dugaan kami, ya dari kawasan ilegal itu. Di Riau ini ada banyak PKS yang beroperasi dengan modus serupa,” ujarnya.

Menurut pria yang akrab dipanggil Datok ini, sebenarnya polisi tidak susah untuk mengambil langkah hukum serius, karena data terkait itu sudah pernah diberikan ke Polda.

‘’Kalau polisi serius, sebenarnya tidak susah. Data yang kami kasih itu lengkap kok. Termasuk TNTN itu. Penyelesaian perambahan kawasan TNTN ini kan sebenarnya tinggal pada komitmen bersama saja. Mau atau tidak. Jangan negara ini dikangkangi kepentingan cukong. Republik ini harus berdaulat,” tegas Datok.

Pemkab Pelalawan tidak menampik adanya indikasi sejumlah PKS menampung TBS di hutan lindung di kawasan TNTN. Hanya saja, mereka kesulitan melakukan pengawasan. Salah satu penyebabnya tidak ada regulasi atau payung hukum tentang tata niaga atau tata kelola legalisasi TBS. Baik kebun pribadi maupun perusahaan.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMP2TSP) Pelalawan Ir Hambali melalui Kabid Perizinan Heri menyatakan solusi ini sudah disampaikan kepada pemerintah pusat. Namun belum ada jawaban hingga kini.

“Kalau mau diberantas, harus ada aturannya sehingga kami memiliki hukum yang kuat untuk menertibkan penampung liar ini,” paparnya.

Di Kuansing, DPRD setempat pernah juga melaporkan sejumlah PKS yang tidak memiliki kebun dan diguga menampung TBS dari di kawasan ilegal. Dari laporan tersebut menyebutkan PT Citra Riau Sarana (CRS), PT Asia Sawit Makmur Jaya (ASMJ), PT Tamora Agung Lestari, dan PT Usaha Kita Makmur (UKM), serta PT Kebun Pantai Raja (KPR).

“Menindaklanjuti laporan itu, kami sudah memanggil perusahaan-perusahaan itu,” ujar Ketua Komisi A DPRD Kuansing, Musliadi SAg.

Sebelumnya, Humas PT KPR Benny Simare-mare menyampaikan, pihaknya belum melihat adanya buah dari hutan lindung. “Kami belum ada melihat buah dari hutan lindung, karena buah banyak dari masyarakat setempat,” katanya.

Sedangkan Manajer ASMJ Rudi Karo-karo menyampaikan pihaknya hanya menerima buah dari masyarakat. Dia meminta DPRD Kuansing menindaklanjuti persoalan banyaknya buah dari hutan lindung itu.

“Apabila kami ada temuan menerima buah dari hutan lindung, maka ISPO akan gagal nantinya. Karena tahun ini sudah wajib ISPO, dan CPO bisa tak laku,” sebut Rudi.

Di Siak, PT Fetty Mina Jaya satu dari 11 PKS non-kebun temuan Tim Pansus. PKS ini memiliki kapasitas peroduksi 30 ton/jam. Padahal sesuai dengan ketentuan, PKS dengan kapasitas tersebut harus memiliki kebun dengan luas 6.000 hektare. Sehingga dalam temuan pansus PT FMJ diduga menampung buah secara ilegal. Karena tidak mungkin mereka dapat terus beroperasi sementara mereka sendiri tidak memiliki kebun. Hitung-hitungan yang sudah dilakukan Tim Pansus, dengan kapasitas 30 ton/jam x 20 jam x 25 hari x 12 bulan, pabrik ini memerlukan 180 ribu ton per tahun. Indikasi ini diperkuat karena di sekitar PT FMJ berdiri ada Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang kondisinya saat ini terus dirambah. Sehingga pada saat itu tim pansus menyimpulkan kuat diduga perusahaan tersebut menampung dari kawasan ilegal.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook