JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Penolakan terhadap revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) kembali menguat. Penolakan tersebut disampaikan Koalisi Save Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari 18 organisasi masyarakat. Di antaranya Indonesian Corruption Watch (ICW), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Imparsial dan sebagainya.
Penolakan tersebut merespon kesepakatan pemerintah dan DPR yang telah melakukan pembahasan secara kilat dan tertutup. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, proses pembahasan terindikasi melanggar sejumlah prinsip pembentukan perundang-undangan. Yakni prinsip kedaulatan rakyat, demokrasi dan hak asasi manusia.
Sebagaimana ketentuan UU 12 tahun 2011, lanjut dia, penyusunan RUU yang baik harus berlangsung partisipatif. Di mana publik perlu diminta pandangan dan masukannya. Namun dalam praktik pembahasan RUU MK, publik tidak sedikit pun dilibatkan. “Apalagi pembahasan hanya dilakukan dua hari saja. Pada hari rabu (26/8) dan kamis (27/8),” ujarnya dalam konferensi pers, kemarin (28/8).
Selain cacat secara formil, substansi yang dibahas dalam revisi kali ini tidak menjawab kebutuhan. Dari sekian banyak DIM, hanya ada dua norma baru. Di mana Pemerintah dan DPR hanya fokus pada perubahan syarat pemilihan hakim MK dan teknis pemilihan ketua MK yang syarat muatan politis.
Agil menjelaskan, jika RUU MK disahkan, maka yang paling diuntungkan adalah para hakim. Sebab dalam ketentuan baru, masa kerja hakim yang sebelumnya dibatasi dua kali masa jabatan, nantinya diubah menjadi pensiun di usia 70 tahun. Dengan skema tersebut, hakim-hakim yang sudah dua periode namun usianya belum 70 tahun dipastikan akan tetap menjabat.
Pihaknya khawatir, “karpet merah” yang diberikan DPR dan Pemerintah menjadi alat barter kepentingan. Mengingat saat ini, ada banyak gugatan UU yang menjadi kepentingan penguasa tengah di uji di MK. “Ada UU KPK, UU Minerba, dan yang potensial diuji RUU Cipta kerja,” imbuhnya.
Kalaupun hendak direvisi, lanjut dia, semestinya menyasar kebutuhan MK. Misalnya memperkuat sifat putusan MK yang saat ini banyak diabaikan oleh lembaga hingga perusahaan. “Sekarang banyak putusan MK yang tidak dipenuhi, dan perlu diatur sanksinya bagi yang tidak menjalankan putusan MK,” tuturnya.
Sementara itu, terkait pembahasan yang berjalan begitu cepat, belum ada penjelasan resmi dari Komisi III DPR. Namun, sejak daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU MK tersebut diserahkan Kemenkumham pada Rabu lalu (26/8), Komisi III langsung membentuk panitia kerja (panja).
Pembahasan oleh Panja dilakukan secara tertutup hingga Kamis (27/8). Namun Ketua Panja membantah jika pembahasan telah selesai. “Lanjut Senin,” jelas Ketua Panja dari Komisi III Adies Kadir kemarin (28/8). Baik legislatif dan pemerintah sama-sama mengajukan sejumlah muatan yang bakal mereka ubah dalam UU MK yang berlaku saat ini ke RUU MK yang baru.
Dari DPR, ada empat muatan yang direncanakan berubah. Keempat muatan tersebut antara lain pengaturan mengenai kedudukan susunan dan kekuasaan MK, pengangkatan dan pemberhentian hakim konsitutusi, kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dan dewan etik, serta putusan MK.
Sementara dari pihak pemerintah mengajukan perubahan pada lima muatan. Antara lain mengenai batas usia minimum hakim konstitusi, persyaratan menjadi hakim konstitusi dari calon yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung, dan batas pemberhentian anggota hakim konstitusi karena berakhirnya masa jabatan.
Selain itu, mencakup pula perihal pemilihan anggota majelis kehormatan MK yang berasal dari akademisi dan berlatar belakang di bidang hukum, serta legitimasi hakim konstitusi yang sedang menjabat. Pemerintah juga akan memperhatikan terkait teknis penyusunan RUU ini.(far/deb/jpg)