RIAUPOS.CO - Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hilir (Rohil), Riau, dengan nomor urut empat, Herman Sani-Taem Pratama (Mantap) mengajukan uji materi terhadap Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Nomor 8 Tahun 2015. Sebab, pasal itu dianggap membatasi keadilan yang harusnya diterima mereka.
Dalam pasal 158 disebutkan bahwa pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Artinya, gugatan sengketa pilkada mereka tidak akan diterima karena selisih mencapai 11 persen.
”Dengan pasal 158, secara konsisten kita tidak punya harapan,” ujar kuasa hukum Herman-Taem, Kalna Siregar saat ditemui di Restoran Handayani, Matraman, Jakarta, Sabtu (26/12).
Karenanya pekan depan mereka akan mempermasalahkan ketentuan itu ke MK. ”Rencananya hari Senin kita daftarkan uji materi ke MK,” sebutnya.
Sementara, kata Kalna, kliennya berharap agar MK juga fokus terhadap kecurangan-kecurangan.
Untuk itu, dia meminta agar MK menunda pemeriksaan perkara perselisihan yang sudah didaftarkan.
”Kalau tidak dilakukan penundaan, harapan kita kepada MK supaya diberi kesempatan membuktikan kecurangan di kabupaten Rokan Hilir," katanya.
100 Dari 119 Sengketa Pilkada di MK Terancam Gugur
Usai pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015, sejumlah pihak mempermasalahkan Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015. Pasal itu mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil diterima atau tidaknya suatu sengketa dalam pemilihan bupati/walikota/gubernur.
Pada ayat 1 dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
"Sangat keterlaluan, membuat 100 dari 119 sengketa Pilkada 2015 yang diajukan ke MK terancam gugur. Pasal 158 membunuh demokrasi, mendukung korupsi, dan mencederai rasa keadilan," tegas Ketua Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Ratna Sarumpaet saat menggelar diskusi di Restoran Handayani, Matraman, Jakarta, Sabtu (26/12).
Memang, keputusan MK tidak belaku surut. Karenanya, satu-satunya harapan untuk menolong 100 sengketa pilkada yang terancam gugur, yakni mendesak MK tidak hanya memeriksa perselisihan hasil rekapitulasi dengan alasan kejar target. MK harus memeriksa fakta dan indikasi pelanggaran pilkada yang memenuhi standar terstuktur, sistematis dan masif (TSM) serta mempengaruhi perolehan suara.
”Karena bagaimanapun, perluasan objek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang TSM selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang dari undang-undang," jelas Ratna.
Sementara itu, menyalahkan para perancang undang-undang tersebut. Dalam hal ini DPR. ”Kok bisa ada undang-undang sesat seperti ini. Muncul undang-undang yang menjebak, jauh dari rasa keadilan. Boro-boro penuhi rasa keadilan, keadilannya saja gak kesentuh," pungkas aktivis perempuan itu. (dna/jpg)(dna/jrr)