JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sejak diundangkan 9 Mei 2022, sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terus dimasifkan. Diharapkan, UU tersebut bisa berjalan efektif dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak korban atas kekerasan yang dialami.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Men PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan, UU itu merupakan angin segar bagi perempuan dan anak Indonesia. Mereka paling rentan menjadi korban kekerasan seksual. Karena sifatnya lex specialis, UU TPKS dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dari hulu hingga hilir.
Mulai mencegah, menangani, melindungi, memulihkan korban, menegakkan hukum atau merehabilitasi pelaku, hingga menjamin kekerasan seksual tidak berulang. "Korban mengalami dampak luar biasa akibat TPKS. Karena itu, peraturan komprehensif yang mengatur kekerasan seksual menjadi sangat dibutuhkan," ujarnya kemarin (24/7).
Mengingat pentingnya aturan itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati mendorong adanya partisipasi publik hingga pemerintah untuk sosialisasi dan diseminasi UU TPKS. "Sehingga masyarakat dapat memahami esensi UU ini," ungkapnya.
Asisten Deputi Bidang Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ali Khasan menjelaskan, terdapat beberapa terobosan hukum yang diatur dalam UU TPKS. Aturannya hadir dengan sudut pandang hak korban. Mulai menangani, melindungi, hingga memulihkan korban.
Karena itu, terdapat hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Yakni, memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, tanpa mengintimidasi korban.
Restitusi juga diatur lebih detail. Dalam UU TPKS, restitusi ditetapkan sebagai pidana pokok. "Selain itu, tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan atau restorative justice terkait perkara TPKS, kecuali terhadap pelaku anak," jelasnya. Pelaku anak akan ditindaklanjuti sebagaimana yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Sub Bagian Sumber Daya Sekretariat Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Sumda Setpusinafis) Bareskrim Polri Rita Wulandari Wibowo menjelaskan, lahirnya UU TPKS mendorong masyarakat berani melaporkan kasus kekerasan seksual. Baik itu kasus yang dilihat maupun dialaminya.
"Apabila kasusnya terjadi sebelum UU ini diundangkan, yaitu 9 Mei 2022, tetapi baru dilaporkan, akan berlaku hukum acara maupun tata cara penanganan kasus dengan menggunakan UU TPKS," tegasnya. Berbeda ketika kasus itu dilaporkan sebelum UU TPKS berlaku, penanganannya akan menggunakan aturan hukum yang berlaku sebelumnya. (mia/c7/bay/jrr)
Laporan JPG, Jakarta