JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Suara agar Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang 19 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU KPK terus berlanjut. Dalam sidang lanjutan gugatan UU KPK di MK kemarin (4/3), giliran mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua yang menyampaikan di hadapan para hakim. Dalam perkara ini, Abullah sendiri bertindak sebagai ahli pemohon.
Dalam persidangan, selain bertindak sebagai ahli, Abdullah juga menceritakan pengalamannya delapan tahun berada di lembaga antirasuah tersebut. Dia menilai, dewan pengawas (Dewas) KPK tidaklah diperlukan. Sebab dalam praktiknya, sistem pengawasan yang dilakukan pengawas internal selama ini sudah berjalan baik.
Selama delapan tahun di KPK, dia mengaku sudah menyaksikan 10 pelanggaran kode etik yang disidangkan dan ada 3 komite etik yang menyidangkan pelanggaran kode etik oleh pimpnan KPK. Fenomena itu nyaris tidak ditemui di kementerian.
"Kita tahu selama ini ada Irjen di kementerian tapi saya belum dengar ada irjen yang memeriksa menteri yang diduga melanggar kode etik. Padahal banyak menteri yang ditangkap oleh KPK," ujarnya.
Dari situ, dia melihat sistem yang berjalan sejak dulu lebih baik sehingga tidak perlu dewas. Apalagi, dalam kewenangan yang diatur dalam UU KPK yang baru, dewas memiliki kekuatan yang besar untuk ikut campur dalam urusan pro justisia.
Selain itu, dalam UU KPK lama, dalam pasal 21 dise butkan jika struktur KPK terdiri dari pimpinan KPK, penasihat, baru kemudian pegawai.
Hal itu berbeda dengan UU baru yang menempatkan struktur organisasi di atas adalah dewas dan diikuti pimpinan serta pegawai.
"Berarti pimpinan KPK hanya sebagai event organizer, melaksanakan tugas-tugas perintah dari dewas," imbuhnya. Padahal, dewas dibentuk langsung oleh Presiden sehingga menimbulkan kemungkinan conflict of interest.
Apalagi, dalam UU KPK hasil revisi, hanya disebutkan jika dewas berwenang menyusun kode etik dan melakukan persidangan terhadap pelanggaran kode etik kepada pimpinan maupun pegawai KPK.
Namun di sisi lain, tidak ada pasal yang mewajibkan dewas tunduk pada undang-undang, kode etik, maupun SOP kepegawaian KPK.
"Di sinilah terjadi potensi penyalahgunaan jabatan," kata dia. Situasi itu, bahkan lebih longgar dibanding dengan apa yang diterima penasihat KPK di UU lama. Di mana penasihat wajib tunduk dengan segala macam aturan. "Bahkan saya sebagai penasihat KPK takluk menggunakan ketentuan pukul 8 sampai pukul 5 harus mengisi time sheet," terangnya.
Selain Abdullah, ahli lain yang dihadirkan adalah guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harjanti. Dalam pendapatnya, Susi menyosoti prosedur pembahasan UU KPK baru yang dinilai banyak tidak sesuai prosedur yang partisipatif.
"Prosedur harus dilihat sebagai mekanisme penting agar tidak disebut tujuan menghalalkan segala macam cara," imbuhnya. Selain itu, UU KPK yang baru juga dinilai bertentangan dengan kehendak rakyat. (far)
Laporan JPG, Jakarta