BEDAH BUKU DEMOKRASI WANI PIRO

Tabu, tapi Lazim Dipraktikan

Politik | Selasa, 05 Maret 2019 - 10:35 WIB

Tabu, tapi Lazim Dipraktikan
SERAHKAN BUKU: Penulis buku Bagus Santoso (tiga kanan) memberikan buku karangannya kepada Ketua DPRD Provinsi Riau Septina Primawati (tiga kiri) untuk perpustakaan DPRD Riau, disaksikan Pemimpin Redaksi Riau Pos M Hapiz (kiri), Pengamat Politik Riau Saiman Pakpahan (dua kanan) saat acara bedah buku Demokrasi Wani Piro di Gedung Perpustakaan DPRD Provinsi Riau Jalan Sudirman Pekanbaru, Senin (4/3/2019). (EVAN GUNANZAR/RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Proses demokrasi yang berjalan hingga saat ini belum sepenuhnya baik. Retorika pelaku demokrasi itu sendiri nyatanya tak seindah fakta di lapangan. Di mana dalam menjalankan sistem, uang masih menjadi tolok ukur tertinggi. Masyarakat saban hari dicekoki muatan yang ujungnya rupiah. Maka wajar saja bila mahar politik masih saja terdengar. Politik uang hingga KKN terus saja terjadi.

Hal itu tertuang dalam bedah buku yang berjudul Demokrasi Wani Piro, buah karya Anggota DPRD Riau Bagus Santoso di Pustaka DPRD Riau, Senin (4/3). Kegiatan yang dihadiri organisasi masyarakat, kelompok pemuda, pers serta kalangan legislator itu membedah secara rinci bagaimana proses demokrasi yang berjalan sampai saat ini.

Baca Juga :Wabup Bagus Santoso Ekspose Rencana Pembangunan Jembatan Pakning-Pulau Bengkalis

Hadir sebagai pembicara Pemimpin Redaksi Riau Pos M Hapiz, penulis buku Demokrasi Wani Piro Bagus Santoso, Pengamat Politik sekaligus akademisi Universitas Andalas Saiman Pakpahan serta Ketua DPRD Riau Septina Primawati. Hadir juga dalam acara tersebut mantan Ketua DPRD Riau drh Chaidir.

Dalam sambutannya, Ketua DPRD Riau Septina Primawati menyebut Demokrasi Wani Piro merupakan sebuah peristiwa nyata yang bukan lagi menjadi rahasia. Ia bahkan secara gamblang memaparkan bagaimana proses demokrasi didalam lingkup politik.”Masih banyak kita dengar mahar politik. Buku ini sesungguhnya sangat menggambarkan bagaimana proses demokrasi itu berlangsung,” ucap Septina.

Pengamat Politik Saiman Pakpahan dalam pemaparannya mengapreasi buku Demokrasi Wani Piro yang merupakan realitas kehidupan demokrasi Indonesia saat ini. Dalam forum tersebut, dosen Fisipol itu menyebut hasil karya Bagus sebagai karya seorang politisi di luar kelaziman.

Bagaimana tidak, di tengah rutinitasnya yang supersibuk sebagai anggota DPRD Riau, Bagus dikatakan dia masih sempat menulis buku yang memiliki nilai edukasi dalamnya. “Apa yang dilakukan sosok Bagus Santoso menjelaskan identitas sosok yang sarat ilmu pengetahuan. Itu kemudian dipengaruhi oleh lingkungan. Sosok tersebut terlibat secara luas,’’ ujarnya.

‘’Sehingga kemudian proses pemerintahan diorientasikan kepada kritik demokrasi itu harus reasonable. Demokrasi harus argumentatif. Bukan yang melulu menyoal jumlah orang. Menyoal jumlah uang,” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan Pemred Riau Pos M Hapiz. Kata dia, Demokrasi Wani Piro sebetulnya tabu, tapi lazim dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu ia menyarankan kegiatan serupa dapat dilaksanakan secara rutin guna memberikan edukasi ke masyarakat. Bahkan hasilnya juga bisa untuk menjadi bahan koreksi bagi stakeholder terkait.

“Demokrasi Wani Piro tabu, tapi lazim dan Riau harus lebih banyak lagi berbicara untuk membahas sesuatu yang tabu ini di publik. Kita kupas dan bahas secara komprehensif sehingga ada jalan keluar dari setiap persoalan yang ada, termasuk persoalan yang mungkin jauh lebih besar di Riau ini,” sebutnya.

Sementara itu, sang penulis Bagus Santoso menyebut buku Demokrasi Wani Piro sendiri merupakan buku ketiga dari dua buku yang sebelumnya telah ia rilis yakni Menantang Elite Parpol dan Merakyat Tak Dibuat-buat. Demokrasi Wani Piro sendiri dijelaskan dia merupakan realitas empirik yang telah ia alami berdasarkan hasil turun langsung selama menjadi politisi.

“Apalagi dikaitkan dengan pesta demokrasi. Di situ ada makna yang lugas. Buku ini mengungkap apa yang terjadi secara empiris. Mengungkap keresahan yang terjadi. Kemudian juga melibatkan semua unsur termasuk pemerintah juga masyarakat. Yang paling penting juga adalah media masa,” sebut Bagus

Ia menceritakan bagaimana problem demokrasi yang berorientasi kepada uang masih terasa sangat kental di ceruk-ceruk kampung. Bahkan dirinya pernah ditagih langsung ketika hendak turun ke masyarakat. “Istilahnya NPWP. Nomor piro wani piro. Sistem ini berlangsung. Masyarakat saban hari dicekoki hal-hal seperti ini. Apa karena salah caleg, ternyata tidak. Semua ikut bertanggungjawab atas masalah ini,” ungkapnya.

Ia juga menggambarkan bagaimana paradigma masyarakat tentang pemilihan caleg. Di mana masyarakat berpikiran setelah duduk, caleg pastinya akan meninggalkan dan tak akan lagi mengurus masyarakat. Karena pikiran itu timbul keinginan untuk “meminta” di depan. Baru dicoblos. Belum lagi pemikiran terima uangnya, coblos yang lain. Harusnya pemikiran serupa itu tak boleh ada.(nda)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook