JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ancaman golput masih belum bisa lepas dari penyelenggaraan pemilu pascareformasi. Sejak pemilu 1999, kecenderungan pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya meningkat.
Khususnya, pada tiga edisi pilpres terakhir. KPU dan parpol dituntut bekerja lebih keras untuk menurunkan tingkat golput pada pemilu tahun ini.
Tuntutan itu disuarakan dalam diskusi yang melibatkan sejumlah elemen masyarakat sipil di Jakarta Selatan, Ahad (3/2). Itu setelah muncul kelompok yang memprotes kegaduhan pilpres dengan mengajak masyarakat untuk golput.
’’Pemilu itu bukan hanya pilpres. Kita ada lima surat suara yang berbeda,’’ ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Anggraini.
Selama ini, tingkat partisipasi pemilu memang berbeda, bahkan berbanding terbalik antara pilpres dan pileg. Saat masih terpisah, tingkat partisipasi pileg selalu lebih tinggi dari pilpres. Selain itu tren partisipasi pemilih pada pileg selalu meningkat kecuali 2009. Sementara, partisipasi pemilih pada pilpres konsisten turun.
Tahun ini, pileg dan pilpres dilangsungkan bersamaan. Persoalannya, ruang publik terlanjur didominasi oleh kegaduhan pilpres, alih-alih semaraknya pileg.
’’Maka harus dilakukan cara-cara supaya bukan golputnya yang naik seperti pilpres, melainkan golputnya turun seperti pileg,’’ lanjut perempuan asal Palembang itu.
Bila dominasi pilpres itu berlanjut, bisa berbahaya karena golput berpotensi meningkat. Misalnya, orang memutuskan golput karena menganggap pilpres tidak sesuai harapan. Padahal, masih ada empat surat suara lain yang juga perlu mendapatkan perhatian. Bila pemilih memutuskan golput karena alasan pilpres, maka pileg juga akan terdampak.