Dari makna kebahasaan di atas, kita bisa melihat bahwa Islam bisa berarti sebagaimana sebuah agama, yaitu agama Islam, dan bisa juga menjelma sebagai sikap jiwa dan kepribadian seseorang, yaitu kepribadian dan jiwa yang Islam. Kepribadian dan jiwa yang Islam itu adalah kepribadian dan jiwa yang menyelamatkan, mengamankan, mensejahterakan, membahagiakan dan menjadi pelopor kebebasan.
Dalam muatan ajarannya, semua makna itu telah dipenuhi oleh Islam. Artinya, makna kebebasan ini tidaklah muluk-muluk, dan tidak pula bersifat teori belaka. Dalam berbagai hukum dan aturannya, semua ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Islam itu merujuk pada makna tersebut di atas. Islam lahir untuk membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan, Islam lahir untuk menyejahterakan, membahagiakan dan memberi jaminan keamanan bagi umat manusia. Dan banyak lagi jaminan Islam bagi tegaknya hak-hak azazi manusia.
Muslim yang paling baik adalah orang yang menyebarkan perdamaian pada seluruh manusia. Muslim itu tidak boleh bertindak zalim dan tidak pula boleh dizalimi. Muslim itu bukanlah pencercah dan pengutuk, tetapi muslim itu adalah pemuji dan penyantun pada semua orang. Inilah dimensi Islam itu, yaitu dimensi keselamatan dan keamanan bagi umat manusia.
Ini berarti Islam adalah agama anti teroris. Untuk membangun asumsi seperti itu terhadap Islam, tentu kita harus pandai-pandai membawa Islam itu sendiri. Sebab sebagaimana tipisnya perbedaan bunyi antara Islam dan Izlam, dunia juga sulit membedakan mana perbuatan pribadi muslim dan mana pula perbuatan prinsip Islam. Sehingga bila ada seseorang yang kebetulan melakukan perbuatan jahat, maka diasumsi pula Islam itu yang jahat.
Takwa yang diamanatkan oleh puasa adalah penciptaan pribadi-pribadi muslim yang menyejahterakan, membahagiakan, mengamankan, menyelamatkan dan membebaskan dirinya dan manusia lain. Takwa tidak mengajarkan pribadi-pribadi yang berbuat aniaya, teror dan perbuatan jahat lain.***
HM Nazir Karim, Ketua MUI Riau