PETUAH RAMADAN OLEH IMAM GHOZALI

Malam Peradaban

Petuah Ramadan | Senin, 18 Mei 2020 - 09:01 WIB

Malam Peradaban
Imam Ghozali (Dosen STAIN Bengkalis)

PERISTIWA lail al-qadr mempunyai interprestasi beragam di kalangan para ulama. Ada beberapa pendekatan dan pengalaman spiritual yang telah memperkaya referensi makna lail al-qadr yang sering disebut satu malam sebanding dengan seribu bulan. Tentu perbedaan ini sebagai bagian khasanah keilmuan untuk bisa meraih kebaikan hakiki di bulan Ramadan ini. Yaitu diterima puasanya, diampuni dosanya, dijauhkan dari siksa api neraka, dan dimasukan ke dalam surga.

Jika merujuk pada pendekatan para ahli tafsir Alquran, makna lail al-qadr merujuk pada pengertian lail al-mubarak sebab malam itu menjadi lail al-hukm. Yaitu malam diturunkan hukum Allah SWT. Pada malam tersebut menjadi penentuan batas pemisah antara batil dan hak, antara yang salah dan yang benar. Batas pemisah di sini merujuk pada suatu perjalanan sejarah umat manusia sebelum Islam datang dengan menggunakan aturan ( al-hukm) aturan jahiliyah. Beberapa tradisi jahiliah yang bertentangan dengan eksistensi manusia. Yaitu: pertama, tumbuhnya fanatisme assabiyyah (kesukuan) di kalangan Arab, telah melahirkan perkelahian dan perebutan pengaruh untuk menguasai suku lain. Hukum rimba berlaku. Suku yang kuat menguasai yang lemah. Kedua,  sistem ekonomi kapitalis merajalela telah menjadikan masyarakat Arab terbelah menjadi dua, masyarakat kelas atas terdiri dari para bangsawan dan saudagar dan masyarakat kelas bawah terdiri dari para buruh dan para budak (orang-orang yang diperjual belikan di pasar). Ketiga, tidak ada perlindungan terhadap perempuan. Pada wilayah-wilayah tertentu, mereka tidak dihargai sama sekali. Begitu juga, tradisi mengubur bayi perempuan karena takut menanggung beban baik dari kehormatan suku itu sendiri juga sebagai bentuk lemahnya kekuatan suku. Keempat, krisis akhlak. Pada zaman jahiliyah memang ada beberapa tradisi yang positif seperti menghormati tamu dan memberi makan kepada orang yang membutuhkan. Namun dalam beberapa sisi, ada akhlak atau moralitas masyarakat Arab yang sangat bertentangan hakikat kemanusiaan seperti suka minum-minuman, berjudi, dan juga melakukan perbuatan zina. Tradisi dagang dengan melimpah kekayaan, telah menciptakan tradisi hiburan-hiburan yang tidak manusiawi tersebut. Kelima, kekosongan aturan agama. pada zaman jahiliyah sering disebut zaman kekosongan aturan Tuhan. Memang dalam beberapa suku dan penduduk Arab, masih ada yang menganut garis agama Nabi Ibrahim seperti keluarga Rasulullah Muhammad SAW, dan juga pengikut agama Nasrani dan Yahudi. Sedang selain itu, mereka melakukan peribadatan dengan menyembah berhala yang beragam bentuk.


Dari beberapa catatan sejarah tersebut menunjukan bahwa sejarah zaman jahiliyah merupakan catatan kehidupan yang jauh dari peradaban. Kehidupan yang barbar tanpa mengenal sifat-sifat manusiawi dan merusak tatanan kehidupan serta tidak mengenal hakikat Tuhan adalah bentuk amalan yang tidak ada kebaikan sama sekali. Sehingga toh jika berbuat baik hanya sebatas untuk kebaikan duniawi saja, dan tidak bisa menjadi jalan balasan dari Allah SWT.

Karena itu, Allah telah melakukan revolusi peradaban besar-besaran dengan menciptakan lail al-qadr yaitu malam penentuan. Disebut malam penentuan, karena malam tersebut menjadi batas pemisah berbagai aturan yang penulis sebutkan di atas, diganti dengan aturan Tuhan, yaitu Alquran. Zaman jahiliyah sebagai zaman aturan produk manusia diubah dengan produk aturan Tuhan. Jika pada zaman jahiliyah, yang memberikan penghargaan manusia itu manusia sendiri, maka hanya bermanfaat di dunia semata, maka ketika Alquran turun, yang memberi penghargaan atas amal manusia yaitu Allah SWT yaitu mendapatkan surga-Nya. Itu sebabnya, satu malam disebut lebih baik dari seribu bulan, karena berbedaan kualitas hukum dan balasanya.

Kualitas hukum zaman jahiliyah dibatasi oleh umur atau masa. Ini dijelaskan dalam Alquran, setiap manusia atau bangsa telah ditentukan oleh masanya (Q.S. Al-A’raf: 43). Sedangkan Alquran adalah aturan Tuhan sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa ( muttaqin ). Jadi hukum Tuhan itu menciptakan masyarakat yang mutaqin. Yaitu pertama, masyarakat yang mempercayai kehidupan di dunia dan akhirat. Kedua, masyarakat mutaqin adalah masyarakat yang mampu mendistribusikan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Ketiga, manusia mutaqin adalah manusia yang senantiasa bisa berlaku adil. Sebab adil itu lebih dekat dengan takwa ( Q.S. Al-Maidah: 8). Konsep keadilan menjadi penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Keadilan merupakan mizan tertinggi umat Islam yang diletakan sebagai ciri khas orang bertakwa. Sifat tersebut menjadi simbol pelaksanaan dalam bentuk aktivitas keluarga, organisasi, juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika keadilan bisa diciptakan, pada saat itu tercipta suatu peradaban. Sebab peradaban itu lahir dari sikap adil yang bisa mengayomi atau ngemong seluruh masyarakat tanpa memandang dari suku, etnis, agama dan budaya. Jadi adil merupakan inspirasi sifat Tuhan yang sangat dekat dengan nama-Nya, yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim. Wallu a’lam.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook