KOLOM HARY B KORIUN

Ibra

Perca | Jumat, 19 Februari 2016 - 00:10 WIB

Ibra

Ibra berdalih, hal itu terjadi hanya di masa peralihan, yakni dari kekuasaan kapitalisme ke kekuasaan masyarakat. Kata Ibra lagi, kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang diselenggarakan untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktaktor orang-seorang.

Hatta setuju dengan pandangan Ibra itu dan sempat berpikir bahwa Ibra pasti tak setuju dengan kediktatoran Joseph Stalin dalam memimpin Rusia. Namun Hatta tetap pada keyakinannya, bahwa dalam konsep diktaktor proletariat, para pemimpinlah yang tetap berkuasa. Di kemudian hari terbukti. Selain Stalin, Lenin memimpin Rusia dengan menumpahkan darah lebih sejuta rakyatnya. Revolusi Kebudayaan yang dikobarkan Mao di Cina juga mengisap darah jutaan rakyatnya yang hidup dalam kesengsaraan, ketakutan, atau kematian setelah lebih dulu menderita.

Baca Juga :Napoleon (2)

Perseteruan karena perbedaan ideologi sejak awal memang menjadikan dua lelaki Minangkabau ini berada dalam jarak yang jauh. Hatta tak pernah setuju dengan komunisme –itu dibuktikannya di kemudian hari ketika dia memilih berseberangan dengan Soekarno ketika Si Bung mulai dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Hatta, konsep yang tepat untuk menyejahterakan rakyat adalah koperasi. Konsep, yang menurut Hatta, sangat berbeda dengan persamaan kelas ala sosialisme-komunisme.

Ibra memang berada di seberang ideologi Hatta itu. Bahkan, Ibra yakin, penggabungan Pan-Islamisme –sebuah gerakan negara-negara Islam di Timur Tengah yang dianggap salah satu musuh utama komunisme oleh Stalin (dan ini yang membedakan konsep komunisme Ibra dengan Stalin)--  akan membuat Indonesia menjadi negara yang tangguh dalam segala bidang, termasuk ekonomi.

Ibra paham dengan konsep Islam. Dia anak yang rajin mengaji dan salat sejak kecil, dan rajin membaca terjemahan Alquran.

Pertarungan ideologi keduanya kemudian seperti menciptakan permusuhan abadi –plus dengan Sjahrir di kemudian hari. Hatta menganggap, di luar perbedaan ideologi, kebesaran nama Ibra di dunia pergerakan, memunculkan kesombongan dalam diri Ibra yang menganggap Hatta, juga Soekarno, seperti anak kecil.  Setelah pertemuan di rumah Darsono tersebut, keduanya seperti berada di jalan yang memang jauh berbeda. Ini ditambah dengan kejadian setelah pemberontakan PKI yang gagal tahun 1926-1927 di Banten dan Silungkang (Sumbar) yang membuat Belanda melakukan tindakan represif terhadap kaum pergerakan.

Di Amsterdam 1927,  Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan kepemimpinan revolusi kepada kaum nasionalis, dalam hal ini salah satunya kepada Hatta dkk. Semaun, salah satu pentolah PKI, teken. Setuju.  Tapi Ibra menolak. Hatta menganggap penolakan itu sebagai sentimen pribadi kepadanya. Padahal, Ibra hanya bersikukuh, bahwa pimpinan revolusi harus dipegang orang komunis. Dalam pandangan Ibra, banyak orang nasionalis yang lembek. Berbeda dengan orang-orang komunis yang keras tanpa kompromi terhadap kolonialisme Belanda.

Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Dalam rapat tersebut, Ibra ikut hadir. Meski berbeda pandangan, Hatta menawari Ibra untuk ikut dalam pemerintahan. Ibra menolak dengan halus, tetapi makna yang sampai pada Hatta sangat berbeda. Ibra mengatakan bahwa dua orang sudah cukup dalam memimpin, yakni Soekarno dan Hatta. Dia akan membantu di belakang layar. Tetapi dalam penerimaan Hatta, sebagai senior, Ibra tak mau dipimpin oleh dua anak muda itu.

Yang menarik, dalam dialektika pemikiran para tokoh revolusi kemerdekaan Indonesia ketika itu, persilangan (kalau tak mau disebut pertikaian) segitiga tiga tokoh asal Minangkabau, menjadi satu bab  tersendiri. Ibra tak segaris dengan Hatta, Hatta  berseberangan juga dengan Sjahrir, dan Sjahrir pun berbeda pandangan dan ideologi dengan Ibra.

Ibra adalah mitos nyata, legenda revolusi. Namun, hingga akhir hayatnya, hingga nyawanya dihabisi oleh tentara republik yang diperjuangkan ini, hidupnya berada dalam kesepian dan kesunyian seperti yang tergambar dalam tulisan Dr Alfian dalam buku Manusia dalam Kamelut Sejarah, sebagai “pejuang revolusioner yang kesepian”.  Namun, dia akan tetap hidup. Seperti apa yang dikatakannya sebelum ditangkap oleh polisi  Hongkong di awal tahun 1930-an: “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.@harybkoriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook