JAUH sebelum Zlatan “Ibra” Ibrahimovic menjadi penyerang terkenal yang memulai karirnya di Molmoe, kemudian menyeberang ke Belanda di Ajax Amsterdam, ke Italia membela AC Milan dan Inter Milan, ke Spanyol bergabung dengan Barcelona dan hingga kini membela Paris Saint Germain; di Suliki, tepatnya di Nagari Pandan Gadang, sekitar 30 km dari Payakumbuh (Sumatera Barat), nama “Ibra” lainnya sudah dikenal luas sebagai pemuda yang sangat jago memainkan si kulit bundar, yang akhirnya juga pergi ke Belanda. Jika Ibra yang dari Swedia itu ke Belanda untuk memperkuat Ajax, Ibra yang dari Suliki ini ke Belanda untuk mengasah otaknya, sekolah di Harleem.
Namanya Ibrahim, yang kemudian bergelar Datuk Tan Malaka. Di kampungnya itu, bahkan hingga kemudian revolusi mengkhianatinya, hingga kini namanya tetap abadi sebagai “Macan dari Lembah Suliki”.
Cerita tentang Ibra –biarlah saya memanggilnya begitu-- sudah ditulis oleh banyak orang. Dari pakar sejarah asing seperti Harry A Poeze –pengagum sejatinya yang seluruh usianya digunakan untuk meneliti kehidupan Ibra—, Rudolf Mrazek, Ben Anderson, hingga para simpatisan dan orang-orang yang mencintainya yang menulis buku atau artikel tentang Ibra dengan versi masing-masing. Ibra seperti sebuah sihir; siapapun yang mendengar ceritanya, membaca bukunya, atau mengeja namanya, langsung simpati dan terkagum-kagum.
Dia menjadi mitos bagi kaum revolusioner; bersanding sejajar dengan Che Guevara. Dia menjadi legenda bagi sejarah Indonesia, meski di masa Orde Baru (Orba) yang sangat anti hal-hal berbau kiri, namanya dihapus dari buku sejarah di sekolah-sekolah. Sebagai pahlawan nasional yang ditabalkan oleh Soekarno pada 1963, penguasa Orba, Soeharto, tak mencabutnya. Namun tingkat kebencian Soeharto terhadap sosok ini sepertinya sampai ke ubun-ubun. Adigium bahwa “kiri berbahaya” ditanamkan betul oleh Soeharto untuk tak memberi ruang sedikit pun terhadap kemunculan paham kiri –yang dalam pikirannya, “kiri” itu adalah komunis. Atau, mungkin Soeharto juga paham bahwa selain “berarti” komunis, “kiri” juga bisa dimaknai sebagai radikalisme, gerakan anti-kemapanan, perlawanan rakyat, perlawanan terhadap penguasa, juga anti-kolonialisme.
Soeharto tak mencabut gelar pahlawan, tetapi melarang beredarnya buku-buku Ibra. Juga orang-orang yang menulis sealiran dengan dirinya dalam karya sastra sekalipun. Seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Maka, di masa Orba, bisa membaca Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi, dan sekian buku lainnya, adalah sebuah anugerah terindah dalam hidup saya ketika itu. Meski dengan penuh ketakutan.
Soeharto lupa, atau pura-pura lupa, diakui atau tidak, Ibra adalah orang yang berada dalam arus utama revolusi kemerdekaan Indonesia. Dia lebih dulu “matang” ketimbang dua kompatriotnya sesama dari ranah Minangkabau, Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, dalam hal pemikiran menuju cita-cita Indonesia merdeka. Soekarno dengan bangga mengatakan bahwa Ibra adalah guru revolusinya. Soekarno dengan suka-cita begitu terkagum ketika pertama kali bertemu dengan Ibra yang selama ini dikiranya tak pernah nyata namun namanya sangat dikenal oleh semua kaum pergerakan. Bahkan di seluruh dunia. Keterkaguman dari seorang fans pada idolanya.
Soekarno tidak asal kagum. Ketika dirinya dan Hatta diancam akan dibawa ke pengadilan internasional oleh Sekutu dengan alasan berkoloborasi dengan negara yang didakwa sebagai penjahat perang, Jepang --di saat revolusi menjelang menyerahnya Jepang, Seokarno memang intens melakukan diplomasi dengan Jepang untuk kemerdekaan Indonesia meski pada akhirnya kemerdekaan yang didapat murni dari hasil perjuangan dan bukan pemberian Jepang-- dia “mewasiatkan” bahwa Ibra adalah orang yang tepat menggantikannya sebagai presiden. Ini jika benar-benar terjadi “apa-apa” dengan dirinya.
Yang menarik, justru orang sekampungnya, Hatta, yang tak suka dengan keputusan Soekarno itu. Hatta kemudian meminta Soekarno menambah tiga nama lagi, yakni Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. Hatta mengatakan itu dilakukan agar mewakili semua kelompok. Padahal sebenarnya dia tetap curiga dengan tampilnya kembali Ibra di kancah politik nasional, setelah lebih 20 tahun nyaris menjadi legenda saat berpindah-pindah tempat di berbagai negara, dan menjadi buruan polisi rahasia Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan yang lainnya. Hatta menganggap Ibra bukan orang yang tepat memimpin negara jika Soekarno dan dirinya benar-benar ditangkap, diadili, dan dinyatakan bersalah.
Ini awal alasannya: suatu hari pada bulan Juli 1922, di rumah salah satu tokoh komunis Indonesia di masa pergerakan, Darsono, di Berlin, Ibra terlibat pembicaraan “serius” dengan Hatta, yang ketika itu baru berumur 20 tahun, tujuh tahun lebih muda dari Ibra. Keduanya datang dari Belanda, menggunakan kereta yang berbeda ke ibu kota Jerman itu.
Ketiganya berdebat soal sosialisme-komunisme. Menurut Ibra, komunisme sebenarnya berdasar dari demokrasi yang sesungguhnya. Hatta menyela. Menurutnya, komunisme itu mengesahkan dan bahkan menganjurkan kediktaktoran. Karl Marx menyebutnya diktaktor proletariat, kata Hatta, seperti ditulis Tempo, yang dibukukan dalam Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan.