Partai politik sangat dibatasi, yang boleh tumbuh hanya partai yang mendukung kekuasaannya. Bahkan, Golongan Karya (Golkar) selalu dikatakannya bukan sebagai partai politik, tetapi hanya perkumpulan, hanya golongan. Anehnya, meski tak mengakui (atau diakui?) bukan partai politik, Golkar selalu ikut pemilu, dan selalu menang. Dalam demokrasi, hanya partai politik yang boleh ikut pemilu. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang ikut pemilu, hanya dijadikan syarat adanya “demokrasi”. Mereka dilarang tumbuh dan berkembang. Siapa yang akan duduk sebagai pimpinan kedua partai tersebut, harus direstui oleh Soeharto. Siapa yang melawan dan tidak segaris dengan pikirannya, akan lenyap dan dibungkam secara paksa.
Kerancuan yang disengaja dalam pemahaman demokrasi ini –Soeharto mengatakan bahwa itulah ciri khas demokrasi Indonesia— membuat kita berada di tubir kehancuran, karena fondamen ekonomi yang dibangun Seoharto sangat lemah. Nilai-nilai kemanusiaan dinafikan, hak politik ditindas, kebebasan hanya sebuah jargon, dan demokrasi hanyalah bungkus dari totaliterisme berwujud kediktaktoran. Yang terjadi kemudian, lahirnya pembangkangan sipil (civil disobedience) dari masyarakat bawah (grassroot) akibat rapuhnya ekonomi setelah badai besar menghantam ekonomi kita tahun 1997-1998. Pembangkangan sipil masyarakat bawah ini mendapat dukungan dari kelas menengah –kaum profesional, mahasiswa, dan lapisan intelektual lainnya— dan melahirkan sebuah generasi Reformasi yang menumbangkan Soeharto dan Orde Baru-nya.
Sekian lama dalam kungkungan kamuflase demokrasi Orde Baru, setelah lebih 17 tahun Reformasi, upaya untuk mengembalikan demokrasi ke jalan yang benar dengan menghancurkan totaliterisme dan seluruh turunannya, memang mengalami hambatan yang berat. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkuasa dua periode berusaha mengembalikan demokrasi ke jalurnya, mengalami kesusahan karena sistem birokrasi yang dibentuk Orde Baru tak benar-benar hilang dan masih “berkuasa” di segala lini. Akibatnya, korupsi dan nepotisme, dua hal yang menjadi musuh utama Reformasi selain kolusi, susah dihancurkan. Celakanya, generasi Reformasi yang diharapkan menjadi penghancur, malah terus melanggengkan dan mengikuti jejak Orde Baru.
Lihatlah, orang-orang yang duduk di parlemen dari tingkat kabupaten/kota hingga di Senayan. Atau, para kepala daerah yang dipilih melalui proses demokrasi yang dianggap paling demokratis (pemilihan langsung), juga banyak menghasilkan orang-orang yang tetap setia pada korupsi, nepotisme, juga kolusi, dan membangun sindikasi dengan tujuan melanggengkan kekuasaannya.
Demokrasi, mestinya, menjadikan rakyat yang berdaulat di segala bidang seperti ekonomi, politik, edeologi, kebudayaan (termasuk di dalamnya pendidikan), dan bukan mengembalikan totaliterisme dengan segala turunannya yang akan menjauhkan demokrasi dengan cita-citanya.
Desakan Fahri Hamzah –yang mengaku berada di garda depan saat penumbangan rezim Soeharto— agar Soeharto dijadikan pahlawan nasional, menjadi paradoks dari cita-cita Reformasi. Rekonsiliasi perlu, tetapi mendesak diktaktor selama lebih 30 tahun untuk menjadi pahlawan nasional, dan itu dilakukan oleh seseorang yang mengaku reformis, adalah sebuah ironi. Mungkin karena Fahri terlalu lama bergaul dengan Fadli Zon --pengaku reformis lainnya namun pengagum berat Soeharto— yang ketika para mahasiswa dan segenap elemen masyarakat turun ke jalan memperjuangkan Reformasi, dia jusrtu sedang mengelus-elus tangan Soeharto di istana negara sambil berfoto-foto.
Demokrasi, memang sebuah ironi. @harybkoriun