DEMOKRASI bukan hanya perkara memilih anggota parlemen atau pemimpin dengan pemungutan suara; siapa yang mendapatkan suara terbanyak itulah yang berhak atas posisi yang diperebutkan. Lebih dari itu, demokrasi adalah sebuah proses menuju kebebasan di segala hal dengan mengedepankan pemikiran, menghargai hak dan kewajiban secara proporsional –yang minoritas mendapatkan perlindungan dan kemerdekaan bersuara, yang mayoritas tak serta-merta menindas dan semena-mena, dan terus berjuang mempertahankan terbukanya saluran-saluran komunikasi antara penguasa dan yang dikuasi.
Demokrasi bukan sekadar mengantarkan seseorang atau kelompok pada kekuasaan yang kemudian menguasai seseorang atau kelompok lainnya, tetapi jauh lebih luas lagi, yakni memberi ruang terbentuknya masyarakat yang terbuka (toleran), kritis, rasional, rendah hati, dan meyakini nilai-nilai keadilan (hukum) yang jujur dan tak memihak sebagai panglima.
Totaliterisme (totalitarianisme) adalah musuh utama demokrasi. Dia adalah awal dari kediktaktoran, fasisme, dan penghinaan terhadap kemanusiaan. Totaliterisme, yang mengembangkan pemikiran tentang kebenaran secara absolut, menentang segala bentuk kreativitas, nilai-nilai kemanusiaan, dan kebebasan berpikir, serta sikap kritis. Dalam pengantarnya untuk buku Revolusi Demokrasi suntingan Larry Diamond (Yayasan Obor, Januari 1994), M Fajroel Rachman menjelaskan bahwa demokrasi adalah lawan totaliterisme, militerisme, fasisme, oroiterisme, dogmatisme, dan pemuja kebenaran absolut.
Totaliterisme adalah pangkal mula dari semua penghancuran hak hidup dan kebebasan berbicara/berpikir manusia merdeka. Intinya gunung dari totaliterisme, militerisme, fasisme, oroiterisme, dogmatisme, dan absolutisme itu adalah kekuasaan tunggal yang cenderung diktaktor. Kekuasaan tunggal yang absolut ini adalah pemuja kredo Niccolo Machiavelli: “seorang diktaktor (pemimpin/raja) harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa, dan tidak perlu merasa khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan menjadikan rakyatnya setia.” Machiavelli mengajarkan, untuk mempertahankan kekuasannya, seorang pemimpin boleh melakukan apa saja, termasuk membunuh, menculik, mengintimidasi, atau melakukan pemusnahan massal seperti yang dilakukan Stalin, Hitler atau Mao Zendong. Atau orang-orang seperti Jendral Franco, Benito Mussolini, Moamar Khadaffi, Hosni Mubarak, Kim Jong-Un, dan yang lainnya. Dan, mereka itulah musuh demokrasi.
Seorang pemimpin yang lahir dari proses demokrasi, juga belum menjamin akan menjadikan dirinya seorang demokrat sejati yang menjunjung nilai-nilai kemanusian dan kesetaraan, yang menjadi dasar utama demokrasi. Sejarah kita mengajarkan bahwa demokrasi selalu diagungkan setiap proses pemilihan wakil rakyat di parlemen atau pemimpin dari tingkat pusat hingga daerah. Sejak Indonesia merdeka, sejak Soekarno dan Hatta dipilih untuk menjadi presiden dan wakil presiden melalui proses transisi yang cepat (tanpa pemilu), kemudian menyelenggaran Pemilu 1955 —yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah demokrasi kita— hingga masuk ke fase Orde Baru selama lebih 30 tahun lebih, kata “demokrasi” selalu diagung-agungkan. Tetapi, demokrasi kita selalu melahirkan anak haram –para pemimpin dan anggota parlemen— yang mengkhianati pemilihnya. Demokrasi kita masih sebatas adanya lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi esensi dari demokrasi itu sendiri tak terlihat secara masif.
Orde Baru, yang menjadikan ekonomi adalah panglima, adalah contoh paling miris praktik demokrasi kita yang “salah jalan”. Dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi –yang sebenarnya juga sangat diragukan apakah benar pada masa itu kita swasembada pangan karena tingkat kemiskinan sangat tinggi, pengangguran tinggi, pembangunan infrastruktur lamban, dan sebagainya— Soeharto menafikan kebebasan berpendapat, memberangus segala bentuk kritik, menguatkan militer, rakyat terus dimata-matai, dan hukum dibuat untuk kepentingan kekuasaan.