Saat mulai menulis artikel ini, penulis ragu menggunakan terminologi kriminalis yang dipadu dengan kata bahasa. Seabrek pertanyaan berseliweran di benak. Apa iya kata kriminal sudah begitu melebar virusnya sehingga seorang pengguna bahasa pun dengan mudahnya dapat dilabeli kriminalis bahasa? Lalu, pertanyaan lanjutan bermunculan, memangnya ada kriminalis bahasa? Jika memang iya, pasti ada korban bahasa, karena ia bersifat resiprok; ada kriminalis bahasa dan ada korban kriminalisasi bahasa.
Sebenarnya kata kriminal saja sudah terdengar seram dan sangat berkonotasi negatif. Akan tetapi, setelah membaca beberapa literatur terkait linguistik forensik, suatu disiplin ilmu lingusitik terapan yang mengkaji sebuah ujaran, sebenarnya bisa saja tanpa disadari seseorang telah berubah menjadi sosok antagonis dalam drama kehidupan berbahasa manusia; atau memang sebuah ujaran/tuturan sengaja diungkapkan untuk menghadirkan medan makna yang rasanya pahit, melukai, menohok, mengoyak, dan menyayat.
Memang bahasa dari sejak Nabi Adam As diciptakan telah menjadi media manusia untuk mengungkap ide, gagasan, pendapat; ruang pikir yang kritis hingga luapan emosional; senang, sedih, suka, duka, benci, cinta hingga luka. Oleh karena itu, sikap, watak, tabiat manusia (individu atau kelompok) dapat diamati melalui bentuk bahasa yang mereka gunakan. Ini pulalah yang melatarbelakangi masyhurnya ungkapan bahasa menunjukkan bangsa.
Sebagai media bagi manusia untuk berkreasi dengan segudang ide dan gagasan; juga media untuk berkreasi dengan hati dan seni; idealnya ide, gagasan, dan luapan emosional itu berjalan seiring dengan nilai-nilai positif luhur manusia.
Akan tetapi, dimensi positif dan negatif itu akan selalu ada hingga akhir masa, karena memang Tuhan sendiri merekayasa hal itu “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebaikan dan jalan keburukan)” (QS 90:10). Dalam surat lain dengan redaksi yang sedikit berbeda, Tuhan memperjelas hal tersebut “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan” (QS 91:8). Oleh karena itu pula, kreatifitas ide dan gagasan itu tidak selamanya memberi manfaat bagi manusia tetapi juga dapat saja mencelakai mereka.
Demikian juga emosi, bisa saja menjadi amarah, sumpah serapah, umpatan, cacian, makian, gertakan, hingga ancaman. Pada saat internet masih hal baru dan sangat terbatas (masa praglobalisasi), perang dua kutub itu tidak seintens dan seluas kini. Akan tetapi, ketika jaringan internet dengan mudahnya diakses di sana-sini, tampaknya dunia siber itu memengaruhi perilaku berbahasa kita. Dulu, saa tetangga bertengkar, beritanya tak mampu melewati pagar tetangga sebelah; perilaku anak didik yang agak nakal dapat terselesaikan dengan hanya memanggil orang tua mereka ke sekolah; anak-anak berkelahi di lapangan sepak bola justru terselesaikan antarmereka. Bandingkan sekarang, hal-hal sangat sepele pun konon dengan mudahnya masuk ke ranah pengadilan. Ujaran kebencian, fitnah, pencemaran nama baik seolah datang silih berganti; takterbendung. Siapa saja bisa menjadi pelaku atau korban dari perlakuan tak senonoh itu. Jika demikian halnya, kita sesungguhnya telah boleh disebut kriminalis. Mengapa? karena tanpa disadari kita telah melakukan tindak kejahatan (kejahatan bahasa tepatnya).
Dalam KBBI (2008: 2341) lema kriminalis diberi arti ‘orang yang melakukan tindak kejahatan’. Di sana tidak dibedakan jenis kejahatan yang dilakukan. Artinya, siapa saja yang secara hukum telah terbukti melakukan tindak kejahatan, dapat dikategorikan sebagai seorang kriminalis. Bukankah cemoohan, makian, cacian, cercaan, makian, sumpah serapah, umpatan, dan sejenisnya merupakan produk kejahatan berbahasa? Nah, andai saja UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan memberi sanksi (termasuk sanksi kurungan) kepada para pengguna bahasa yang tidak mematuhi segala kaidahnya, mungkin saja lapas-lapas di negeri ini sudah tidak sanggup lagi menampung mengingat begitu banyaknya para pelanggar bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Barangkali, ini pulalah yang melatarbelakangi alasan tidak dikenakan denda/sanksi bagi pelanggar bahasa sebagaimana halnya untuk pelanggar kehormatan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Memang akhir-akhir ini penggunan bahasa di media sosial disemarakkan oleh berbagai pengunaan bahasa yang tidak santun dan bahkan cenderung kasar. Dunia medsos seolah berubah menjadi ajang perang kata, saling melaporkan. Perkembangan teknologi informasi yang harusnya disyukuri karena memangkas sekat ruang dan waktu justru berubah menjadi malapetaka bernama kejahatan siber. Bahasa yang bermuatan fitnah, ujaran kebencian, pencemaran nama baik justru begitu dominan dipraktikkan. Faktanya Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri mencatat sedikitnya 4.360 kasus ITE pada 2018. Kemudian, meningkat menjadi 4.586 pada 2019 dan bertambah menjadi 4.790 pada 2020. Uniknya, kasus paling tinggi dari keseluruhan laporan adalah mengenai pencemaran nama baik. Pada tahun 2018, kasus pencemaran nama baik menyentuh 1.500 laporan walau sempat turun sejumlah 1.333 pada 2019 tetapi meningkat tajam menjadi 1.794 laporan polisi pada tahun 2020 (CNN Indonesia, 29 Desember 2020).
Syukurnya, memasuki 2021, tampaknya Presiden Jokowi memahami gejolak masyarakat terkait UU ITE. Presiden ke-6 itu menyatakan akan mengajak DPR bersama-sama untuk merevisi Undang-undang ITE jika aturan itu dirasa tidak dapat memberikan rasa keadilan (Tempo, 15 Februari 2021). Lalu, Kapolri Jenderal Lisyto Sigit Prabowo merespon cepat pernyataan Presiden dengan mengeluarkan surat edaran kepada para penyidik dengan nomor SE/2/II/2021 pada 19 Februari 2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Surat edaran tersebut membuka paradigma baru kepolisian (baca: penyidik) dalam penanganan perkara ITE. Penyidik harus berprinsip jika hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) dan mengedepankan restorative justice (sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan mediasi antara pelapor dan terlapor untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik antarkeduanya). Akan tetapi, perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme tidak termasuk ke pendekatan mediasi tersebut. Simpulan penting dari surat edaran itu ialah keadilan restoratif harus menjadi landasan dalam penanganan kasus ITE agar memberikan keadilan yang tidak pandang bulu bagi yang berperkara. Semoga!***
Rahmat, S.Ag., M.Hum, Peneliti Ahli Muda pada Balai Bahasa Provinsi Aceh